- BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 mencapai 4,7–5,5% didukung konsumsi dan investasi meningkat.
- Gubernur BI memaparkan lima sumber tekanan global utama yang perlu diwaspadai sepanjang 2026 dan 2027.
- Kebijakan moneter BI tahun 2026 diarahkan menjaga stabilitas sambil tetap memanfaatkan ruang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Suara.com - Bank Indonesia (BI) terus mewaspadai beberapa faktor yang memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, optimisme bahwa perekonomian Indonesia ke depan akan lebih baik dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berdaya tahan. Namun, tetap mewaspadai ketidakpastian global yang tinggi.
"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 berada di kisaran 4,7–5,5 persen dan meningkat lebih tinggi pada 2026 dan 2027 masing-masing dalam kisaran 4,9–5,7 persen dan 5,1–5,9 persen didukung oleh konsumsi dan investasi yang meningkat, serta ekspor yang cukup baik di tengah perlambatan ekonomi dunia," jelas dia dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (1/12/2025).
Selain itu, dia memprediksi, ekonomi global masih melemah pada 2026 dan 2027 dengan lima karakter Utama.
Perry kemudian memaparkan lima sumber tekanan tersebut. Pertama, ketidakpastian meningkat akibat kebijakan tarif Amerika Serikat yang terus berlanjut dan menekan arus perdagangan internasional.
Kondisi ini melemahkan multilateralisme dan mendorong pergeseran ke kerja sama bilateral maupun regional.
Kedua, pertumbuhan ekonomi global melambat. Perry menyebut, ekonomi AS dan China sedang melemah, sementara Uni Eropa, India, dan Indonesia masih mencatat kinerja positif.
![Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pemerintah perlu mewaspadai inflasi pangan di akhir 2025. [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/11/12/69457-gubernur-bi-perry-warjiyo.jpg)
Namun, inflasi global yang turun lebih lambat tetap menjadi tantangan bagi bank sentral dunia.
"Ketiga, tingginya level utang dan suku bunga di negara-negara maju. Defisit fiskal yang berlebihan memicu bunga yang tinggi dan menambah tekanan fiskal bagi negara berkembang,” kata Perry.
Baca Juga: Bos BI Mau Luncurkan Rupiah Digital, Apa Manfaatnya?
Keempat, meningkatnya kerentanan sistem keuangan global. Ia menyoroti lonjakan transaksi produk derivatif, khususnya oleh hedge fund berbasis algoritma, yang meningkatkan risiko pelarian modal dan tekanan nilai tukar di negara-negara berkembang.
Sedangkan yang terakhir adalah risiko yang muncul dari semakin luasnya penggunaan aset kripto dan stablecoin swasta yang belum memiliki payung regulasi memadai.
Apalagi, situasi ini memperkuat urgensi pengembangan central bank digital currency (CBDC).
“Karena belum ada pengaturan dan pengawasan yang jelas, negara perlu menyiapkan central bank digital currency,” ungkapnya.
Dia pun menambahkan, mengenai kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2026 akan terus diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satuhya, tetap menjaga stabilitas, dalam sinergi erat dengan bauran kebijakan ekonomi nasional.
"Kebijakan moneter pada tahun 2026 diarahkan untuk menjaga stabilitas ('pro-stability') dengan tetap memanfaatkan ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ('pro-growth')," jelasnya.