Ribut Saham Gorengan, Insentif Pasar Modal untuk Apa?

Rabu, 10 Desember 2025 | 15:30 WIB
Ribut Saham Gorengan, Insentif Pasar Modal untuk Apa?
Masalah saham gorengan diramaikan oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan OJK. Keduanya sepakat manipulasi pasar adalah masalah bagi investor, tapi beda pendapat soal insentif untuk pasar modal. [Suara.com]
Baca 10 detik
  • Menteri Keuangan Purbaya menyoroti praktik saham gorengan yang merugikan investor dan merusak ekosistem pasar modal.
  • Definisi saham gorengan belum baku, namun pengamat menyebutnya sebagai manipulasi pasar yang dicirikan likuiditas rendah.
  • OJK dan BEI fokus meningkatkan surveillance, literasi investor, dan insentif untuk mempertebal likuiditas guna menekan manipulasi harga.

Sementara menurut Oktavianus, jika mengacu pada praktek manipulasi harga atau penggiringan harga, maka kami berpandangan beberapa ada beberapa faktor yang memengaruhi praktis saham gorengan.

Pertama adalah free float rendah atau kepemilikan terkonsentrasi dan kedua likuiditas rendah — sehingga berpotensi untuk menggerakan harga saham jika memiliki modal relatif besar atau di atas rerata harian.

Saham Gorengan di Mata Investor

Tulisan satir dari investor kawakan, John Veter Firdaus Reagen, yang dikenal malang melintang di pasar investasi Singapura (Sin) dan Amerika Serikat (US), menyentil BEI soal saham gorengan. Komentar ini dilontarkan tak lama setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyerukan, "Jangan goreng saham!" di panggung Financial Forum 2025 IDX di BEI, Rabu (3/12/2025).

"Pasar modal harus bersih. Kami di Kemenkeu menekankan kepada OJK dan Bursa agar sistem surveillance terus ditingkatkan. Praktik pump and dump itu tidak hanya merusak pasar, tapi juga merugikan investor kecil. Kita harus memastikan teknologi kita mampu mendeteksi gerakan aneh para bandar secara real-time sebelum mereka sempat kabur," tegas Purbaya ketika itu.

Menanggapi seruan Purbaya itu, Reagen mengibaratkan bursa sebagai layaknya "kompor mati," di mana para petinggi bursa sibuk memeriksa "ini gorengan saya sudah gosong belum ya?" - sindiran tajam mengenai betapa lumrahnya praktik manipulasi harga di lantai bursa.

Menurut Reagen, praktik saham gorengan telah mengalami evolusi signifikan. Jika di masa lalu saham gorengan identik dengan emiten kecil (kode aneh, fundamental nihil), kini praktik tersebut telah "naik kasta."

“Yang digoreng kini bukan lagi saham kecil, tapi saham konglomerasi besar yang tampil gagah di prospektus, tapi kopong di dalamnya,” tulis Reagen.

Ia mencontohkan dua kasus yang menjadi sorotan.

Baca Juga: Menkeu Purbaya Ngeluh Saham Gorengan, Apa Gebrakan OJK?

Pertama saham CDIA disebutnya memiliki Price Earning Ratio (PER) ratusan kali. Reagen mengibaratkannya sebagai "risoles isi angin, dibungkus rapi, dijual mahal, tapi isinya cuma udara panas dan narasi."

Kedua, saham EMAS, emiten baru IPO yang namanya "bersinar" namun memiliki PER minus—yang berarti belum menghasilkan laba.

Reagen mengkritik keras fenomena di mana kenaikan harga saham spekulatif ini justru disambut gembira oleh sebagian pejabat yang mengklaimnya sebagai tanda "pasar bergairah." Ia menegaskan, yang bergairah mungkin hanya bandar, bukan investor.

Reagen menyoroti kelemahan pengawasan, di mana regulator cenderung terbuai oleh grafik harga yang berwarna hijau, menganggapnya sebagai tanda sukses. Padahal, grafik itu bisa jadi hanya mencerminkan "api kompornya lagi besar."

Kondisi ini, menurutnya, menyulitkan investor untuk membedakan mana perusahaan yang benar-benar tumbuh (fundamental growth) dan mana yang hanya fluktuasi akibat suhu minyak para bandar.

Di tengah parade IPO yang penuh bunga, Reagen memuji PT Pelayaran Jaya Hidup Baru (PJHB) sebagai salah satu dari sedikit emiten yang masih menggunakan logika bisnis sehat. Menurutnya, bisnis PJHB—sewa kapal dengan margin tebal, tanpa utang, dan penambahan tiga kapal baru—adalah contoh IPO yang sesungguhnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI