Singkat cerita, pada abad ke-17 datanglah orang-orang Belanda. Mereka salah satunya membawa misi zending atau kristenisasi. Seorang pendeta Belanda dari negeri Rumahtiga yang bernama Pendeta Hoeden Horen (informasi lain mengatakan: pendeta van Horen) bersama dua orang pembantunya menjalankan tugas mereka menyebarkan Injil dan mereka menuju pegunungan Salahutu.
Dia tinggal lama di perkampungan yang ada di pegunungan tersebut. Pendeta van Horen kemudian mengajak penghuni di negeri tersebut untuk turun dan berdiam di tepi pantai, karena di sanalah semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Mereka pun akhirnya bermusyawarah di negeri Nani untuk turun ke pantai. Salah satu yang dibahas, yakni pencarian tempat pemukiman.
Upaya turun gunung selalu gagal karena beberapa faktor, salah satunya banjir. Hingga akhirnya Johanis Tuhalauruw yang menggantikan Sultan Nuhurela. Ia mengambil tombak pusakanya serta sebuah kiming (kelopak kering bunga kelapa) lalu dilemparkan dan tertancap di sebuah daratan yang agak berbukit karang.
Mereka lalu merancang untuk turun ke pantai. Hasil musyawarah raja kampung negeri Nani ditentukan menjadi pemimpin mereka di negeri yang baru, yakni moyang Barnadus Reawaruw.
Negeri baru tersebut lantas diberi nama Waai, yang artinya negeri yang diapit oleh sungai-sungai besar yang bersumber dari gunung Salahutu.
Sementara itu, di wilayah pantai telah terdapat 4 keluarga, yakni Matapere, Bakarbessy, Lumasina, dan Tahitu.
Lalu saat tiba di pantai, rombongan Barnadus memilih Matapere menjadi raja yang memimpin mereka. Akan tetapi Matapere enggan menghadap Belanda. Sebagai gantinya Bakarbessy. Dari situlah kepemimpinan berpindah ke Bakarbessy yang diangkat menjadi raja.
Keluarga Bakarbessy kemudian memimpin Negeri Waai. Keturunan mereka sampai sekarang juga masih didapuk menjadi raja setempat.
Baca Juga: Reaksi Kevin Diks usai Resmi Diumumkan Erick Thohir Gabung Timnas Indonesia