Suara.com - Timnas Indonesia kembali mendapat sorotan tajam dari FIFA setelah dua kali dijatuhi sanksi FIFA selama perjalanan di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Kejadian ini menjadi sinyal kuat bahwa PSSI dan seluruh elemen sepak bola nasional perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pertandingan dan perilaku pendukungnya.
Sanksi terbaru dari FIFA dijatuhkan pasca pertandingan Timnas Indonesia melawan Bahrain yang digelar pada 25 Maret 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.

Dalam pertandingan tersebut, insiden diskriminatif dari sebagian kecil suporter menjadi perhatian utama badan sepak bola dunia.
FIFA merujuk pada pelanggaran Pasal 18 dalam dokumen FDD 2338 yang berkaitan dengan tindakan diskriminasi.
Berdasarkan laporan monitoring pertandingan, sekitar 200 suporter Indonesia di sektor utara dan selatan tribun SUGBK terlibat dalam meneriakkan slogan-slogan bernuansa xenofobia saat laga memasuki menit ke-80.
Tindakan ini dinilai bertentangan dengan nilai kesetaraan dan inklusivitas yang dijunjung tinggi oleh FIFA.
Sebagai konsekuensi, PSSI harus menanggung denda sebesar Rp400 juta serta menjalani sanksi pembatasan jumlah penonton di pertandingan kandang berikutnya.

Untuk laga kontra Timnas China pada 5 Juni 2025, FIFA memerintahkan agar 15 persen kapasitas stadion ditutup, khususnya tribun utara dan selatan yang menjadi lokasi insiden.
Baca Juga: Persib Hampir Terpeleset, Barito Putera Sukses Unjuk Gigi di Bandung
Namun, FIFA memberikan kelonggaran bahwa tribun tersebut masih dapat diisi oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti pelajar, komunitas perempuan, keluarga, atau organisasi yang mengkampanyekan nilai antidiskriminasi.
Syarat utamanya adalah membawa spanduk yang menonjolkan pesan inklusi.
Ini bukan kali pertama Timnas Indonesia mendapat peringatan serius dari FIFA selama rangkaian kualifikasi ini.
Pada akhir tahun 2024, FIFA telah lebih dulu menjatuhkan sanksi karena Timnas Indonesia terlambat memasuki lapangan dalam dua pertandingan berbeda, yakni saat melawan Timnas Australia pada 10 September dan Timnas China pada 15 Oktober 2024.
Akibat pelanggaran tersebut, Indonesia dikenai dakwaan atas pelanggaran Artikel 14 Kode Disiplin FIFA.
Total denda yang dikenakan atas dua insiden keterlambatan itu mencapai 20 ribu Franc Swiss atau sekitar Rp357 juta.
Walau tidak menyangkut perilaku penonton, keterlambatan tim tetap dipandang sebagai pelanggaran terhadap tata tertib pertandingan internasional.

Jika dilihat dari dua kasus ini, tampak bahwa Indonesia harus lebih tegas dalam menerapkan aturan dan pengawasan baik terhadap pemain maupun suporter.
Dalam konteks sepak bola modern, profesionalisme tidak hanya diukur dari performa tim di lapangan, tetapi juga dari cara seluruh elemen dalam pertandingan menjaga etika dan disiplin.
PSSI selaku federasi nasional harus lebih aktif
mensosialisasikan pentingnya menjaga reputasi negara di pentas internasional. Suporter sebagai elemen vital pendukung tim juga diharapkan bisa menunjukkan semangat positif dan menjunjung tinggi sportivitas.
Karena meskipun hanya sebagian kecil yang melakukan pelanggaran, dampaknya bisa sangat merugikan secara keseluruhan.
Di tingkat global, FIFA telah lama menyatakan komitmennya dalam memberantas segala bentuk diskriminasi, termasuk rasisme, xenofobia, dan intoleransi.
Kampanye bertema "Say No to Racism" yang digaungkan sejak awal 2000-an merupakan bukti bahwa mereka tidak akan mentolerir perilaku yang mencederai nilai kebersamaan dalam olahraga.
Sanksi terhadap Indonesia mempertegas bahwa FIFA akan terus menindak tegas siapa pun yang melanggarnya.
Kini, dengan laga penting menghadapi China di depan mata, Timnas Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar.
Selain mempersiapkan strategi permainan, semua pihak harus memastikan kejadian serupa tidak terulang.
Stadion sebagai ruang publik seharusnya menjadi tempat yang aman, ramah, dan terbuka bagi siapa saja, terlepas dari asal, ras, atau latar belakang.
Dengan catatan dua sanksi ini, Indonesia perlu memperbaiki sistem pengamanan pertandingan, pelatihan etika bagi pemain dan ofisial, serta edukasi bagi suporter.
Hal ini penting bukan hanya demi lolos ke putaran final Piala Dunia 2026, tetapi juga demi menjaga martabat sepak bola Indonesia di mata dunia.