"Perempuan dan laki-laki itu sama, punya tugas yang sama meneruskan peradaban sebuah bangsa. Karena itu mereka sudah selayaknya mendapatkan posisi yang sama, penghormatan yang sama dan kedudukan yang sama di masyarakat." Kata-kata itu ditulis Yenny Wahid untuk laman Yayasan Suara Hati (suarahati.co.id), sebuah gerakan yang diinisiasi oleh aktris Nova Eliza sebagai bentuk kepeduliannya terhadap nasib para perempuan Indonesia, terutama bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan baik di masa lalu maupun masa kini.
Gerakan ini sudah dirintis sejak Desember 2015, dia mengumpulkan sejumlah tokoh publik untuk menampilkan citra perempuan yang ditindas dalam bentuk fotografi.
"Ada 60 tokoh yang terlibat, seperti Kikan Kotak, Titi Radjo Bintang, Indy Barens. Mereka ikut bersuara lewat fotografi untuk mengkampanyekan agar perempuan Indonesia mau bersuara," kata Nova ditemui pada Senin (1/8/2016) di Jakarta.
Para tokoh tersebut dipotret secara close-up, mimik wajahnya berbeda-beda, ada yang menitikan air mata, ada yang marah, ada yang kecewa dan lainnya.
Foto-foto tersebut telah dipamerkan di sejumlah kota seperti Bali, Makasar, Surabaya, dan sekarang tengah dipamerkan di Ermasmus Huis, Jakarta.
Perempuan yang berperan sebagai Ngasirah dalam film Kartini mengatakan bahwa dari pameran tersebut dia mendapatkan dana untuk membantu para perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk membangun rumah singgah di Aceh dan Jakarta.
"Kenapa di Aceh? Karena di sana masih banyak perempuan korban kekerasan di masa lalu yang dilakukan oleh GAM. Banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan, ada juga yang diculik, hal tersebut meninggalkan luka yang mendalam bagi mereka," kata Nova.
Perempuan-perempuan tersebut lebih memilih bungkam dibandingkan membicarakan masalahnya kepada orang lain. Untuk itu, Suara Hati berusaha memfasilitasi para korban agar membuka diri.
"Di Indonesia masih mayoritas menganut budaya patriaki. Jadi tidak heran banyak perempuan yang tidak berani berbicara jika mendapatkan kekerasan rumah tangga," kata dia.
Nova sendiri memang memulai gerakan ini dari Aceh karena sebagai tempat kelahirannya. Dia sudah memahami masalah-masalah yang dialami oleh perempuan di sana, untuk itu akan lebih mudah baginya memfasilitasi para korban.
Gerakan Suara Hati ini murni berasal dari pemikiran dan upayanya. Dia pun bekerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) untuk membantu para korban yang membutuhkan advokasi dan pendampingan.
"Jadi para perempuan yang mengalami kekerasan sulit untuk mengungkapkan apa yang dia alami, untuk itu Suara Hati membantu memfasilitasi mereka, jika mereka membutuhkan bantuan hukum kita akan sampaikan ke Komnas Perempuan. Ke depan saya berharap dapat bekerja sama dengan Komnas HAM," kata ibu satu anak tersebut.
Dalam kampanyenya, Nova yang lahir pada 4 Juni 1980 lebih memilih menyuarakannya dalam bentuk seni karena menurut dia media itu akan lebih mudah sampai ke masyarakat.
"Pendekatannya memang melalui seni, seperti fotografi, musik, teater dan cerita sehingga masyarakat lebih mudah menerimanya," kata Nova.
Perempuan berdarah Aceh itu mengatakan gerakan tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan, mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan bagi perempuan mengenai bentuk kekerasan.
Kepeduliannya terhadap sesama manusia bukanlah hal yang tiba-tiba. Sejak kecil dia telah diajarkan oleh ayahnya untuk membantu sesama.
"Ayah saya dulu Bupati (Kabupaten Pidie). Dia sering diperkenalkan kepada berbagai macam situasi masyarakat sehingga tumbuh jiwa kepedulian kepada sesama," kata Nova.
Apalagi Nova telah merasa mendapatkan apa yang dia cita-citakan, maka sudah waktunya bagi dia memberikan waktu dan tenaganya untuk kegiatan sosial.
"Saya main sinetron sejak umur 13, saya sudah merasakan semuanya. Jadi sudah waktunya saya bergerak untuk Indonesia terutama untuk perempuan. Saya ingin masalah perempuan di Indonesia segera selesai," kata dia.
Menurut dia, kontribusi yang dia berikan memang belum besar. Dia memilih menjalani gerakan ini secara perlahan dan bertahap yang penting dirinya konsisten dan komitmen.
Tahun depan, Suara Hati akan melakukan perjalan ke daerah-daerah yang tingkat kekerasan terhadap perempuannya masih tinggi seperti di Papua dan Jawa Barat.
Masyarakat dapat berpartisipasi dengan membeli cendera mata Suara Hati untuk mendukung gerakannya tersebut.
Kelompok pendukung untuk para penyintas kekerasan seksual Lentera Sintas Indonesia menyebutkan 93 persen dari 1.636 responden yang pernah mengalami kekerasan dan pelecahan seksual memutuskan untuk tidak melaporkan kasusnya, sementara enam persen melapor dan hanya satu persen yang mengatakan kasusnya diselesaikan secara tuntas oleh pihak berwajib, sisanya mengahdapi penghentian kasus, pelakunya bebas atau berakhir 'damai' dan alasan lainnya.
Direktur Eksekutif Lentera Sintas Indonesia Wulan Danoekoesoemo mengatakan rendahnya angka pelaporan menunjukkan bahwa budaya diam yang meliputi kekerasan seksual menciptakan iklim impunitas dan membuat penyintas sulit mendapatkan keadilan.
Menurut cacatan tahunan Komnas Perempuan pada 2016 kekerasan tidak hanya terjadi di wilayah domestik tetapi meluasi di wilayah publik, di mana 11.207 kasus terjadi di ranah personal dan 5.002 kasus di ranah komunitas. (Antara)