Mereka berharap, para pengampu kebijakan bisa membuat sistem pembayaran performing rights satu pintu yang lebih baik.
"Kalau bisa, ada pihak yang bisa kami beri trust untuk kami titipkan haknya si pencipta ini. Kami lebih nyaman untuk menjalankan yang seperti itu," jelas David Bayu.
Kalaupun nantinya sistem direct license yang dipilih untuk pembayaran performing rights ke pencipta lagu, David Bayu menghendaki ada aturan yang jelas tentang besaran nominal yang mesti disalurkan.
"Kalau tiba-tiba ngegetok gitu, ya kami bingung juga. Misal lagi habis nyanyiin lagu siapa, terus ditelepon, disuruh bayar sekian puluh juta," kata David Bayu.
Kisruh pembayaran performing rights ke pencipta lagu sejak awal memang berakar dari kegagalan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan kepastian hukum.
Ada dua pasal dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang saling tumpang tindih, sehingga membuat penyanyi dan pencipta lagu terjebak dalam pusaran konflik yang berkelanjutan.
Dua pasal yang dimaksud adalah Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Pasal 9 mengharuskan penyanyi meminta izin dulu ke pencipta lagu sebelum membawakan karyanya. Sedang Pasal 23 ayat (5) tidak mengharuskan perizinan asal penyanyi sudah membayar performing rights ke pencipta lagu.
Kondisi diperparah dengan kinerja LMKN yang dianggap kurang optimal dalam menyalurkan hak performing rights para pencipta lagu.