Sebut saja Casper, Harry Potter, hingga Scooby Doo, yang sangat dekat dengan kehidupan anak-anak milenial.
Unsur fantasi tidak serta-merta mengganggu akidah anak-anak karena mereka tentunya dapat menyadari bahwa kejadian dalam film hanya fiksi belaka.
Oleh karena itu, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk membimbing anak-anak memahami cerita-cerita fiksi, tanpa harus mematikan daya imajinasi mereka.
"Percaya deh, anak yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita fantasi akan punya cara berpikir yang lebih luas. Justru di situlah peran orang tua untuk memberikan pengertian," tulis seorang pengguna media sosial.

"Ceritanya tinggal dijelaskan saja. Dulu kita tumbuh dengan cerita rakyat seperti Sangkuriang dan Timun Mas yang imajinasinya juga tinggi. Mungkin sekarang cerita seperti itu sudah jarang dikenalkan ke anak-anak?" tambah netizen lain.
Ada juga yang menyuarakan pentingnya keterbukaan informasi sejak dini yang dilakukan oleh orang tua.
"Daripada anak-anak disterilkan dari hal-hal seperti ini, lalu saat dewasa mereka menemukannya sendiri tanpa pembekalan dari orang tua, bukankah itu lebih berbahaya? Sama seperti edukasi seks, lebih baik dimulai dari rumah," ujar netizen.
Beberapa komentar bahkan menyebut contoh tokoh-tokoh ikonik seperti Doraemon, Ninja Hattori, hingga Tsubasa yang semuanya hidup dalam dunia fantasi.
"Doraemon itu robot kucing dari masa depan, si Entong punya kaos kaki ajaib, Tsubasa bisa menendang bola dengan efek magis. Semua itu adalah bagian dari dunia imajinasi. Jangan bunuh imajinasi anak-anak," sahut netizen.
Baca Juga: Sederhana Tapi Penonton Tak Sadar, Ryan Adriandhy Ungkap Cara Kemas Film Jumbo
Film "Jumbo" jelas membuka diskusi yang lebih luas mengenai batas antara edukasi dan hiburan dalam tayangan anak, serta peran orang tua dalam menjembatani keduanya.