Suara.com - Cho Yong Gi, mahasiswa jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI), ditangkap oleh Polda Metro Jaya saat bertugas sebagai tim medis dalam aksi peringatan Hari Buruh (May Day) pada 1 Mei 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI.
Ia menjadi salah satu dari 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan demo tersebut.
Saat kejadian, Cho Yong Gi bersama tim medis lainnya hendak pulang melewati flyover Senayan Park. Mereka mendengar teriakan dari seseorang yang mengatakan ada peserta demo yang mengalami luka di kepala dan membutuhkan pertolongan.
Cho Yong Gi kemudian menghampiri lokasi dan melihat beberapa orang dengan luka-luka di wajah, termasuk bibir yang robek dan mengeluarkan darah. Ia menawarkan bantuan medis kepada mereka.
Namun, di tempat yang sama, ada kerumunan lain yang justru mengintimidasi Cho Yong Gi. Salah satu orang berteriak, "Kamu ngapain di sini?" lalu mendorongnya hingga jatuh. Ia juga mendengar teriakan provokatif yang menuduhnya sebagai pelaku pelemparan dalam aksi tersebut.
Setelah itu, ia langsung ditangkap, ditarik, dibanting ke tanah, lehernya dipiting oleh dua orang, dan diinjak.

Ia juga mengaku menerima pukulan secara membabi buta sebelum akhirnya diselamatkan oleh rekannya.
Setelah kejadian tersebut, Cho Yong Gi dimasukkan ke mobil tahanan dan dibawa ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.
Meskipun ia mengenakan atribut lengkap sebagai tim medis, termasuk helm dengan lambang palang merah dan membawa perlengkapan medis, ia tetap ditetapkan sebagai tersangka.
Baca Juga: Momen Mahasiswa UI Naufal Zidan Dikebumikan, sang Ibu Tak Kuasa Tahan Tangis
Polisi menjeratnya dengan Pasal 160 KUHP terkait penghasutan serta Pasal 216 dan 218 KUHP karena dianggap tidak menuruti perintah petugas untuk membubarkan diri.
Penangkapan Cho Yong Gi mendapat perhatian luas, termasuk dari akademisi dan aktivis yang mempertanyakan keputusan polisi menetapkan tim medis sebagai tersangka.
Kepala Program Studi Ilmu Filsafat UI, Ikhaputri Widiantini, menyatakan keprihatinannya atas tindakan tersebut dan menegaskan bahwa Cho Yong Gi bertugas sebagai tenaga medis saat aksi berlangsung.
Banyak yang menggambarkan sosok Yong Gi sebagai pribadi berintegritas tinggi, penuh empati, dan berjiwa demokratis.
"Sebagai sosok demonstran, Cho Yong Gi adalah aktivis mahasiswa dengan pikiran paling dewasa dan terbuka yang pernah saya temui," tulis seorang netizen.
Lainnya menyoroti keberaniannya dan mengaitkan namanya dengan semangat perjuangannya di lapangan.
Yong Gi dalam bahasa Korea berarti "courage" atau keberanian, dianggap cocok menggambarkan Cho.
Bahkan, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai "Soe Hok Gie masa kini." Sebutan ini bukan tanpa alasan.
Sama seperti Soe Hok Gie, aktivis legendaris era 60-an, Yong Gi dikenal karena keteguhan moral, pemikiran kritis, dan aksi nyata di lapangan.
Ia juga berasal dari lingkungan akademik Universitas Indonesia, aktif dalam kegiatan mahasiswa, dan memiliki idealisme yang kuat dalam memperjuangkan keadilan sosial.
Banyaknya dukungan untuk Yong Gi tak lepas dari narasi dan opini yang cepat terbentuk di media sosial.
Bagi banyak mahasiswa, Yong Gi kini bukan sekadar nama. Ia mungkin telah menjadi simbol perlawanan, keberanian, dan kesetiaan pada nilai-nilai yang diyakini.
Layaknya Gie yang hidup singkat tetapi meninggalkan jejak panjang dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia.
Cho Yong Gi membuka bab baru dalam perjuangan anak muda hari ini, bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya soal akademik, tetapi juga berjuang demi demokrasi.