Suara.com - Perayaan Mati Rasa, film terbaru dari Sinemaku Pictures yang disutradarai oleh Umay Shahab, kini menjadi perbincangan hangat di kalangan penikmat film, terutama anak muda.
Tayang di Netflix setelah sebelumnya rilis di bioskop pada 29 Januari 2025, film ini bukan sekadar drama keluarga biasa.
Dengan Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran utama sekaligus produser eksekutif, film ini mengajak kita menyelami kompleksitas emosi, luka batin akibat kehilangan, dan tekanan ekspektasi yang begitu relevan dengan generasi milenial.
Ketika Kehilangan Memaksa Kita Merasa
Film ini berpusat pada kisah Ian Antono (Iqbaal Ramadhan), seorang anak sulung yang memikul beban berat untuk menjadi panutan.
Ia berjuang mengejar mimpinya di dunia musik bersama band-nya, Midnight Serenade, sebuah jalan yang kerap membuatnya dibanding-bandingkan dengan sang adik, Uta Antono (Umay Shahab).
Uta, dengan kariernya yang cemerlang sebagai podcaster terkenal, dianggap sebagai anak kebanggaan keluarga.
Hubungan yang sudah renggang antara kakak-beradik ini semakin rumit, ketika sebuah tragedi merenggut nyawa kedua orang tua mereka secara mendadak.
Di tengah duka yang mendalam, Ian, yang selama ini berusaha tegar, memilih untuk mengubur semua perasaannya.
Baca Juga: Tayang Hari Ini, Serial The Waterfront Suguhkan Drama Keluarga Sarat Intrik
Ia mengalami "mati rasa"—sebuah mekanisme pertahanan diri untuk tidak merasakan sakit.
Film ini kemudian menjadi sebuah perjalanan emosional tentang bagaimana Ian dan Uta, yang kini hanya memiliki satu sama lain, harus belajar saling menguatkan, melepaskan masa lalu, dan menemukan kembali makna hidup.

Fenomena 'Mati Rasa' dan Beban Anak Sulung
Perayaan Mati Rasa secara brilian mengangkat isu kesehatan mental yang seringkali tak terlihat: emotional numbness atau mati rasa emosional.
Karakter Ian adalah representasi sempurna dari fenomena ini. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi keluarga dan rasa "kalah" dari adiknya menciptakan sebuah dinding emosional.
Kehilangan orang tua menjadi pemicu akhir yang membuatnya menutup akses terhadap perasaannya sebagai cara untuk bertahan.
Dari sudut pandang psikologi, apa yang dialami Ian adalah gejala umum dari trauma dan depresi.
Film ini dengan cerdas menggambarkan bagaimana masyarakat, terutama dalam konteks keluarga, seringkali menuntut seseorang untuk "tetap kuat", tanpa menyadari bahwa proses berduka membutuhkan ruang untuk merasakan sakit.
Iqbaal Ramadhan berhasil menyajikan lapisan emosi yang subtil namun meyakinkan, membuat penonton bersimpati pada perjuangan internalnya.
"Ian Antono adalah karakter yang menurutku memberikan pelajaran penting dalam perjalananku sebagai aktor. Ada kedewasaan dalam menyampaikan emosi-emosi yang sebenarnya sangat manusiawi, tetapi bagaimana kemudian mengolahnya menjadi karakter yang meyakinkan,”" kata Iqbaal.
Dinamika hubungan antara Ian dan Uta juga menjadi sorotan utama.
Rivalitas saudara (sibling rivalry) yang dipicu oleh perbandingan orang tua adalah isu yang sangat dekat dengan banyak anak muda.
Film ini menunjukkan bagaimana tragedi bisa menjadi titik balik yang memaksa mereka untuk menghancurkan tembok persaingan dan membangun kembali ikatan persaudaraan yang tulus.

Palet Warna Sebagai Cerminan Emosi
Untuk membedah film ini lebih dalam, kita dapat menggunakan kerangka analisis film yang dipopulerkan oleh Jacques Aumont dan Michel Marie dalam buku mereka yang fundamental, "L'Analyse des films" (Analisis Film).
Teori mereka tidak menawarkan satu metode universal, melainkan mengajak kita untuk melihat film dari berbagai sumbu: narasi (cerita), elemen visual dan audio (gambar dan suara), serta hubungannya dengan sejarah dan penonton.
Aumont dan Marie menekankan pentingnya analisis "tekstual", yaitu membedah bagaimana cerita disampaikan.
Dalam Perayaan Mati Rasa, narasi dibangun melalui konflik internal Ian. Alur ceritanya non-linear, seringkali melompat antara masa kini yang kelam pasca-tragedi dan kilas balik ke masa lalu yang penuh tekanan.
Struktur ini secara efektif membangun empati penonton, karena kita diajak merasakan langsung disorientasi dan fragmentasi emosi yang dialami Ian.
Film ini menjadi "teks" yang bisa dibaca lapis demi lapis, dari dialog, gestur, hingga keheningan yang sarat makna.
Analisis ikonografi (gambar dan suara) juga berfokus pada bagaimana gambar dan suara membangun makna.
Di sinilah sinematografi Perayaan Mati Rasa menunjukkan kekuatannya.
Penggunaan palet warna yang kontras adalah "penanda sinematik"—istilah yang merujuk pada elemen visual sebagai pembawa makna.
"Dunia Midnight Serenade", digambarkan dengan pencahayaan terang dan warna-warna hangat.
Ini merepresentasikan dunia mimpi Ian, pelariannya ke dalam musik di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri.
Sementara "dunia Keluarga Antono", direpresentasikan dengan palet warna yang lebih pudar dan dingin.
Ini mencerminkan realitas pahit, tekanan, dan kekosongan emosional yang ia rasakan di rumah.
Skor musik dan lagu-lagu dari Midnight Serenade juga bukan sekadar latar, melainkan bagian integral dari narasi.
Lirik lagu menjadi ekspresi langsung dari perasaan terpendam Ian, berfungsi sebagai monolog internal yang musikal.
Aumont dan Marie, dalam buku lain yang mereka tulis bersama Alain Bergala dan Marc Vernet, "Aesthetics of Film", menyentuh aspek psikoanalisis dalam pengalaman menonton.
Film ini secara aktif mengajak penonton untuk masuk ke dalam kondisi psikologis Ian.
Proses "identifikasi" penonton dengan protagonis sangat kuat. Kita tidak hanya menonton penderitaan Ian, tetapi juga ikut merasakan klaustrofobia emosionalnya.
Pengalaman menonton ini menjadi katarsis, di mana penonton milenial dapat merefleksikan tekanan dan "mati rasa" yang mungkin mereka alami dalam kehidupan nyata.
Refleksi yang Menyakitkan Namun Perlu
Perayaan Mati Rasa adalah sebuah film yang penting.
Film ini berhasil mengangkat tema kehilangan dan kesehatan mental dengan cara yang jujur dan menyentuh, dibalut dengan musikalitas yang kuat dari band fiktif Midnight Serenade.
Terinspirasi dari lagu berjudul sama yang dibawakan oleh Umay Shahab, film ini sukses menerjemahkan melodi menjadi narasi visual yang mendalam.
Bagi generasi milenial dan Gen Z yang seringkali berjuang dengan tekanan akademis, karier, dan ekspektasi sosial, film ini menawarkan sebuah cermin.
Sebuah pengingat bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja, dan bahwa proses penyembuhan luka batin adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan kejujuran pada diri sendiri dan dukungan dari orang-orang terdekat.