Suara.com - Perseteruan mengenai hak royalti antara pencipta lagu dan penyanyi di industri musik Indonesia masij mendapat sorotan tajam dari Raja Dangdut, Rhoma Irama.
Menurutnya, masalah ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan berakar dari "polemik nasib" dan kecemburuan sosial yang mendalam.
Analisis ini disampaikan oleh musisi legendaris tersebut dalam episode terbaru podcast "Bisikan Rhoma" di kanal YouTube miliknya, saat berbincang dengan promotor musik Kiki Aulia Ucup.
Rhoma Irama, yang juga seorang pencipta lagu produktif, melihat adanya kesenjangan ekonomi yang signifikan antara nasib para pencipta lagu dengan para penyanyi yang mempopulerkan karya mereka.
"Bukan polemik nasab, tapi polemik nasib. Polemik nasib antara pencipta dan penyanyi," ujar Rhoma Irama.

Pria berusia 78 tahun ini menilai bahwa kesenjangan gaya hidup inilah yang menjadi pemicu utama timbulnya konflik.
Ia memberikan perumpamaan yang sangat tajam untuk menggambarkan situasi ini.
"Ada quote and quote, ada juga indikator kecemburuan sosial ini. Penyanyinya naik Alphard, (penciptanya bilang) 'Gue naik angkot'," tutur Rhoma.
Menurut pelantun "Begadang" ini, meskipun penyanyi memiliki peran besar dalam mempopulerkan sebuah lagu, pendapatan yang mereka terima dari penampilan panggung seringkali jauh melampaui apa yang diterima oleh sang kreator asli.
Baca Juga: Sal Priadi Raup Royalti Rp 114 Juta dari WAMI, Singgung Pentingnya Publisher Buat Penulis Lagu
Penyanyi, kata Rhoma, memiliki banyak faktor lain di luar lagu itu sendiri yang membuat tarif mereka menjadi sangat mahal, seperti penampilan, citra, dan manajemen.
Hal inilah yang pada akhirnya menciptakan perbedaan pendapatan yang mencolok.
"Di satu sisi, sang pencipta menjadi lebih booming kan karyanya dengan penyanyi ini. Kemudian penyanyi ini kan banyak hal-hal di samping lagu itu sendiri yang membuat mereka bertarif mahal," jelasnya.
Fenomena inilah yang menurutnya mendorong para pencipta lagu untuk menuntut hak yang lebih, termasuk melalui sistem direct license atau lisensi langsung kepada pengguna lagu, di luar mekanisme yang sudah ada melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Lebih lanjut, Rhoma Irama berpendapat bahwa polemik yang terjadi akan terus mendorong adanya perubahan dan perbaikan dalam undang-undang hak cipta di masa depan.
Dengan analisisnya ini, Rhoma Irama seolah ingin mengingatkan bahwa penyelesaian masalah royalti tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga harus menyentuh akar persoalan, yaitu rasa keadilan dan kesetaraan nasib di antara para pelaku industri musik.