Suara.com - Sebuah permintaan maaf bisa menjadi jembatan perdamaian yang menenangkan badai, atau justru jurang pemisah yang memperdalam luka.
Dalam kasus DJ Panda, video klarifikasi yang ditunggu-tunggu oleh publik, yang seharusnya menjadi jembatan, ternyata adalah sebuah lompatan ke dalam jurang.
Pilihan kata-katanya, alih-alih menunjukkan penyesalan, justru menjadi sebuah studi kasus tentang bahasa defensif yang gagal total.
Mari bedah anatomi permintaan maaf yang salah ini, frasa demi frasa, dan pahami mengapa niatnya untuk meredam api justru menyulut amarah yang lebih besar.
Panggung Telah Disiapkan: Momen Krusial yang Terbuang Sia-sia
Sebelum video itu tayang, panggung untuk DJ Panda telah disiapkan dengan sempurna.
Ia berada di posisi terpojok: kariernya dihantam cancel culture, puluhan jadwal manggung lenyap, dan namanya menjadi target utama kemarahan netizen.
Publik sebenarnya menanti sebuah momen penebusan.
Mereka menginginkan pengakuan yang tulus, tanggung jawab yang penuh, dan empati yang jelas terhadap Erika Carlina, seorang perempuan yang tengah hamil tua.
Baca Juga: Fuji dan Rachel Vennya Serang DJ Panda yang Pamer Saldo Rp45 Juta: Pinjem Duit Dong!
Ini adalah kesempatan emas baginya untuk merebut kembali sedikit simpati dan menunjukkan kedewasaannya. Namun, kesempatan itu terbuang sia-sia oleh pilihan diksi yang problematis.
"Saya Khilaf": Senjata Klasik yang Tumpul di Hadapan Isu Serius
Di awal permintaan maafnya, DJ Panda menggunakan frasa andalan banyak orang di Indonesia: "Saya khilaf".
Dalam percakapan sehari-hari untuk kesalahan kecil—seperti lupa membalas pesan atau salah bicara—kata "khilaf" mungkin bisa diterima.
Namun, dalam konteks tuduhan seberat "pengancaman", kata ini menjadi sangat tidak pantas dan terkesan meremehkan.
"Khilaf" menyiratkan sebuah kesalahan yang terjadi di luar kendali penuh, sebuah kekeliruan sesaat yang tidak disengaja.
Penggunaannya di sini secara efektif mengecilkan dampak perbuatannya terhadap korban.
Publik tidak membacanya sebagai sebuah penyesalan yang mendalam, melainkan sebagai upaya untuk mencari keringanan dengan mengatakan,
"Saya memang melakukannya, tapi itu bukan 'saya' yang sebenarnya." Ini adalah langkah pertama yang membuatnya kehilangan simpati audiens.
Jika kata "khilaf" adalah sebuah kesalahan, maka kalimat "saya dapat dorongan dari luar" adalah sebuah blunder fatal.
Ini adalah momen di mana permintaan maafnya secara resmi berubah dari pengakuan menjadi pembelaan diri.
Dengan mengatakan ini, ia secara aktif melempar sebagian tanggung jawab atas tindakannya kepada "pihak luar" yang misterius dan tidak disebutkan namanya.
Bagi audiens, kalimat ini terdengar seperti alasan seorang anak kecil yang menyalahkan temannya.
Ini menunjukkan kurangnya kepemilikan penuh (ownership) atas perbuatannya sendiri.
Siapa "pihak luar" ini? Mengapa mereka memiliki kendali atas emosi dan tindakannya?
Alih-alih terlihat sebagai korban keadaan, ia justru terlihat lemah, tidak matang, dan tidak jujur.
Sebuah permintaan maaf yang tulus menuntut pengakuan 100% tanpa menyalahkan faktor eksternal.
Dengan gagal melakukan itu, ia tidak hanya gagal meyakinkan publik, tetapi juga menciptakan misteri baru yang membuat ceritanya semakin tidak bisa dipercaya.
"Saya Juga Mendapatkan Ancaman": Taktik Bumerang 'Playing Victim'
Ini adalah paku terakhir di peti mati permintaan maafnya. Alih-alih menunjukkan empati penuh pada Erika yang mengklaim telah diancam, ia justru menarik dirinya ke posisi korban yang sama dengan mengatakan,
Sebuah permintaan maaf yang efektif harus berpusat pada perasaan korban.
Dengan mengatakan "saya juga korban", ia secara instan membatalkan validasi terhadap perasaan Erika.
Pesan yang diterima publik adalah: "Penderitaanmu tidak spesial, saya juga menderita, jadi kita impas."
Ini adalah upaya putus asa untuk menyeimbangkan kesalahan, yang pada akhirnya hanya menunjukkan kurangnya empati yang tulus.
Momen ini menghilangkan sisa-sisa ketulusan yang mungkin masih ada dan mengonfirmasi kecurigaan banyak orang bahwa tujuan utama dari video ini bukanlah untuk meminta maaf kepada Erika, melainkan untuk menyelamatkan citranya sendiri.
Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan DJ Panda adalah bahasa defensif yang dibungkus dalam permintaan maaf.
Ia lebih fokus membela diri, mencari pembenaran, dan membagi kesalahan daripada menunjukkan penyesalan yang otentik.