Suara.com - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengambil langkah tegas terhadap para penyelenggara acara yang tidak patuh membayar royalti musik.
Dalam sidang uji materi Undang-Undang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, 31 Juli 2025, LMKN menyerahkan daftar lebih dari 400 event organizer (EO) yang dinilai membandel.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menyebut penyerahan data itu sebagai bentuk keseriusan lembaganya dalam melindungi hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan musik.
"Kita juga sudah memasukkan tertulis jawaban dari pertanyaan hakim konstitusi di sidang sebelumnya soal banyaknya EO yang tidak membayar royalti tahunan. Kita serahkan lebih dari 400 nama event," kata Dharma Oratmangun kepada awak media.
Tak hanya EO, Dharma mengungkap bahwa LMKN juga telah menyurati berbagai tempat usaha lain yang juga diduga melanggar kewajiban royalti. Mulai dari rumah karaoke, pusat perbelanjaan, hingga tempat hiburan lainnya.
![Konferensi pers LMKN di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024) [Suara.com/Tiara Rosana].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/01/17/13938-konferensi-pers-lmkn.jpg)
"Kita juga memasukkan data tentang rumah karaoke, mal-mal, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Semua sudah kita hubungi, kita surati, tapi masih banyak yang membandel," tutur Dharma.
Salah satu kasus yang tengah bergulir adalah pelanggaran hak cipta oleh jaringan restoran Mie Gacoan. Dharma memastikan proses hukum terhadap kasus tersebut akan segera berjalan.
"Kasus Mie Gacoan sudah berjalan, dan dalam waktu dekat akan memasuki proses hukum pidana dan perdata," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dharma turut mengingatkan bahwa membayar royalti bukanlah beban yang membuat usaha merugi.
Baca Juga: Judika: Jangan Bilang Penyanyi Tak Niat Perjuangkan Hak Pencipta Lagu
Justru, menurutnya, ini adalah bagian dari menghargai karya kreatif anak bangsa.
"Kenapa sih takut bayar royalti? Royalti tidak bikin usaha itu bangkrut," ucapnya.
Sebagai informasi, sidang uji materi ini terkait permohonan 29 musisi yang tergabung dalam gerakan Vibrasi Suara Indonesia (VISI), yang menggugat lima pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Mereka meminta Mahkamah memberikan tafsir yang lebih adil agar hak dan kewajiban pelaku pertunjukan tidak tumpang tindih.