Suara.com - Suasana akhir pekan di Taman Ekspresi Sempur, Bogor, pada Minggu (10/8/2025) menjadi panggung bagi sebuah drama singkat yang menggelitik.
Pendakwah Ustad Felix Siauw bersama konten kreator yang akrab disapa Koiyocabe, harus menghentikan aksi mereka membawa bendera kelompok Bajak Laut Topi Jerami dari anime populer One Piece setelah baru berjalan sekitar 30 menit.
Rombongan kecil itu didatangi oleh beberapa park ranger atau petugas keamanan taman yang meminta mereka untuk menurunkan dan menyimpan bendera tersebut.
Menurut petugas, tindakan itu berpotensi melanggar aturan dan dikhawatirkan dapat memicu provokasi di ruang publik.
Dalam unggahannya di media sosial, Koi menjelaskan niat awal mereka adalah untuk menguji secara langsung suasana kebatinan aparat di lapangan.
"Pagi ini kita mutusin buat jalan-jalan pagi sambil bawa bendera One Piece. Kita mau cek, bener gak katanya Presiden Prabowo tak permasalahkan pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari ekspresi," tulisnya dikutip Senin (11/8/2025).
Namun, realita berkata lain. "Eh, baru setengah jam jalan, kita langsung disamperin park ranger (petugas keamanan). Langsung disuruh keluar, tapi sama kapten (Felix Siauw) langsung diajak adu haki," imbuh Koi dengan nada bercanda, merujuk pada salah satu kekuatan di dunia One Piece.
Ketegangan yang sempat terekam kamera itu seketika cair dan berubah menjadi tawa saat sebuah detail tak terduga terungkap.
Koi membagikan sebuah foto yang menjadi plot twist dari keseluruhan peristiwa.
Baca Juga: Kang Maman: Fenomena Bendera One Piece Picu Trauma, Imajinasi Rakyat Dibatasi Aparat
Salah satu petugas yang menegur mereka ternyata menggunakan casing handphone bergambar logo Bajak Laut Topi Jerami, sama persis dengan bendera yang mereka bawa.
"Plot twist! ternyata casing hape Park Rangernya gambar One Piece," ungkap Koi.
Insiden ini sontak viral dan menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet.
Banyak yang melihatnya sebagai cerminan dari sebuah ironi: seorang petugas yang dalam tugasnya harus menertibkan sebuah simbol, namun secara pribadi juga merupakan bagian dari penggemar atau 'Nakama' dari simbol tersebut.
Koi pun memakluminya, menyebut bahwa petugas juga rakyat biasa yang terikat pada profesi dan arahan atasan.
Keresahan Aparat dan Kritik Terhadap Ketakutan Berlebih
Insiden di Bogor ini adalah puncak gunung es dari keresahan yang lebih luas di kalangan pejabat dan aparat keamanan.
Menjelang perayaan HUT RI ke-80, fenomena pengibaran bendera Jolly Roger One Piece di berbagai daerah dipandang dengan kecurigaan.
Padadhal ini adalah simbol kekecewaan dan protes senyap dari anak-anak muda terhadap kondisi sosial dan politik, bendera fiksi ini mulai membuat beberapa pihak gerah.
Sejumlah pejabat, termasuk dari Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, telah mengeluarkan peringatan keras.
Mereka menegaskan bahwa tindakan mengibarkan bendera lain selain Merah Putih, terutama yang dapat mencederai kehormatan bendera negara, memiliki konsekuensi pidana sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Namun, respons represif ini justru menuai kritik.
Ketakutan aparat terhadap bendera dari sebuah cerita fiksi dinilai berlebihan dan menunjukkan ketidakmampuan dalam memahami bahasa simbolik generasi muda.
Alih-alih membuka ruang dialog untuk memahami aspirasi di balik fenomena ini, negara justru memilih jalan pintas dengan menebar ketakutan.
Padahal, seperti yang ditunjukkan oleh insiden casing handphone di Bogor, semangat 'perlawanan' dan 'kebebasan' yang diusung One Piece nyatanya bisa dinikmati siapa saja, bahkan oleh aparat sekalipun.