Mirip Kain Batik Slobog Cucu Bung Hatta, Black Dandyism Juga Simbol Perlawanan Politik

Yazir F Suara.Com
Selasa, 19 Agustus 2025 | 15:42 WIB
Mirip Kain Batik Slobog Cucu Bung Hatta, Black Dandyism Juga Simbol Perlawanan Politik
Gustika Jusuf Hatta pakai kebaya hitam saat HUT RI ke-80 [Instagram]

Suara.com - Panggung Istana Merdeka pada upacara 17 Agustus baru-baru ini tak hanya menjadi saksi perayaan kemerdekaan, tetapi juga sebuah agenda diam-diam Gustika Fardani Jusuf, cucu Bung Hatta.

Gustika mencuri perhatian karena pilihan busananya yang sarat makna.

Ia mengenakan kebaya hitam yang dipadukan dengan kain batik motif slobog.

Dalam tradisi Jawa, motif slobog identik dengan upacara pemakaman, melambangkan duka cita dan harapan agar arwah yang meninggal mendapat kelancaran.

Pilihan Gustika bukanlah tanpa alasan. Melalui pakaiannya, ia mengirimkan pesan tajam kepada pemerintah dan publik, yaitu sebuah kritik bahwa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi utang yang belum terbayar.

Gustika juga memakainya saat hadiri Aksi Kamisan, sebuah protes yang digelar tiap hari Kamis di depan Istana Negara. Protes ini menuntut pemerintah dalam penuntasan pelanggaran HAM dan kekerasan di Indonesia.

Aksi simbolik Gustika adalah contoh nyata bagaimana fashion dapat menjadi medium perlawanan politik yang kuat.

Fenomena ini sejajar dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat melalui gerakan Black Dandyism, sebuah tradisi berbusana kaum kulit hitam yang bukan sekadar soal gaya, tetapi juga deklarasi identitas dan perlawanan.

Gerakan ini bahkan mendapat sorotan global saat menjadi tema utama Met Gala 2025 di New York, "Superfine: Tailoring Black Style".

Baca Juga: Sosok Gustika Hatta: Pengkaji Perang Lulusan London yang 'Serang' Prabowo-Gibran di Istana

Black Dandyism adalah sebuah revolusi mode yang akarnya tertanam dalam sejarah panjang perlawanan dan kebanggaan kaum kulit hitam di Amerika.

Ini adalah praktik berbusana yang bertujuan menolak label negatif, membalikkan stereotip, dan menegaskan eksistensi di ruang sosial yang seringkali meminggirkan mereka.

Secara visual, gaya ini identik dengan setelan jas yang dirancang khusus, potongan rapi, rompi elegan, sepatu kulit mengilap, dan permainan warna serta pola yang berani.

Namun, esensinya jauh lebih dalam. Di dunia yang secara historis sering merendahkan martabat orang kulit hitam, berpenampilan necis dan elegan menjadi sebuah tindakan subversif.

Monica L. Miller, seorang profesor studi Afrika, menulis bahwa Black Dandyism adalah respons terhadap sejarah perbudakan di mana orang Afrika "tiba di Amerika secara fisik dan metaforis telanjang."

Dengan demikian, berbusana menjadi cara untuk merebut kembali tubuh mereka dan menemukan artikulasi diri yang tegas.

Akar gerakan ini dapat ditelusuri kembali ke periode pasca-emansipasi perbudakan dan mencapai puncaknya selama Harlem Renaissance pada tahun 1920-an.

Di masa itu, Harlem menjadi pusat intelektual dan artistik kulit hitam, dan para seniman, musisi, serta pemikir menggunakan pakaian untuk menegaskan martabat mereka.

Salah satu manifestasi massal paling awal dari estetika ini adalah Silent Protest Parade pada 1917, di mana lebih dari sepuluh ribu individu kulit hitam berbaris dengan pakaian formal di Fifth Avenue, New York, untuk memprotes diskriminasi era Jim Crow.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI