Bagi sebagian orang tua, ini terlihat sebagai tontonan yang aman untuk anak-anak tanpa tahu bahwa kualitas produksinya tengah jadi bulan-bulanan di internet.
3. Meme dan Lelucon Kolektif
![Tangkap layar film Merah Putih: One For All, yang mendapat komentar negatif dari masyarakat. [YouTube]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/82324-film-merah-putih-one-for-all.jpg)
Film jelek sering kali melahirkan bahan candaan tanpa habis. Dari dialog kaku, animasi kaku, hingga adegan yang tak masuk akal semuanya bisa jadi konten meme di media sosial.
Menonton film ini lalu menertawakannya bersama teman bisa menjadi ritual seru.
Justru di sinilah daya tariknya, pengalaman menonton yang buruk berubah jadi hiburan sosial. Tontonan gagal berubah menjadi bahan tertawaan kolektif.
4. Efek Viral
Di era media sosial, tidak ikut membicarakan sesuatu terasa seperti ketinggalan kereta.
Film Merah Putih: One For All jadi trending bukan karena prestasi, melainkan kontroversi.
Bagi sebagian orang, membeli tiket lalu menonton film ini adalah cara untuk bisa ikut nimbrung di percakapan online.
Baca Juga: Putra Hanung Bramantyo Bikin Film Kemerdekaan Pakai AI, Dibandingkan dengan Merah Putih: One for All
Mereka ingin punya bukti autentik ketika berkomentar, bukan sekadar ikut-ikutan.
5. Nasionalisme yang Menjebak
Meski dihujat, film ini tetap membawa embel-embel Merah Putih. Ada penonton yang menaruh harapan bahwa film ini bisa menanamkan semangat patriotisme untuk anak-anak.
Sayangnya, niat baik itu justru berbalik jadi kekecewaan setelah melihat kualitas animasi yang jauh dari ekspektasi.

Jumlah penonton Merah Putih: One For All sama sekali bukan bukti apresiasi.
Sebaliknya, itu cerminan rasa penasaran, ketidaktahuan, hingga hasrat untuk menjadi bagian dari lelucon komunal.