Terungkap 3 Alasan Film 'Rangga & Cinta' Tetap Pakai Latar 2000-an: Lebih dari Sekadar Nostalgia

Rabu, 08 Oktober 2025 | 17:51 WIB
Terungkap 3 Alasan Film 'Rangga & Cinta' Tetap Pakai Latar 2000-an: Lebih dari Sekadar Nostalgia
Pertunjukan Musikal Rangga & Cinta di acara Synchronize Fest 2025 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (4/10/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Film 'Rangga & Cinta' memilih mempertahankan latar awal 2000-an sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas cerita dan refleksi masa transisi sosial budaya Indonesia.
  • Keputusan ini juga menjaga romantisme khas era analog yang tak bisa digantikan oleh teknologi modern.
  • Selain itu, latar waktu menjadi sarana pembelajaran sejarah yang memperkaya karakter dan konflik, baik bagi penonton maupun para pemain muda.

Suara.com - Lebih dari 20 tahun sejak film 'Ada Apa Dengan Cinta?' menggetarkan emosi penonton Indonesia, kisah asmara legendaris Rangga dan Cinta kini kembali menghiasi layar lebar melalui film adaptasinya, 'Rangga & Cinta'.

Namun, keputusan kreatif yang cukup mencuri perhatian adalah pilihan untuk tetap menempatkan latar cerita di era awal 2000-an, bukan di masa kini yang serba digital dan modern.

Produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza akhirnya angkat bicara soal keputusan kreatif tersebut dalam wawancara eksklusif yang digelar pada Minggu, 6 Oktober 2025, di XXI Jogja City Mall, Yogyakarta.

Berikut 3 alasan mendasar mengapa tim produksi mempertahankan latar waktu zaman dahulu, yang rupanya lebih dari sekadar untuk bernostalgia.

Pemain Film Rangga & Cinta ketika media gathering di XXI Jogja City Mall (SUARA.COM/Shevinna Putti)
Pemain Film Rangga & Cinta ketika media gathering di XXI Jogja City Mall (SUARA.COM/Shevinna Putti)

1. Identitas Waktu yang Tak Terpisahkan

Sejak awal proses pengembangan, Mira Lesmana menegaskan bahwa tim kreatif telah sepakat untuk mempertahankan latar waktu kisah 'Rangga & Cinta' agar tetap berada dalam era yang sama seperti versi aslinya.

"Kalo dari development-nya sendiri, sejak awal kita memang meresep kisah Ada Apa Dengan Cinta itu identik dengan waktu, 2002, 2001 kalau dalam film ya, tapi kita merilisnya di tahun 2002, itu identik," ungkap Mira Lesmana.

Keputusan ini bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga merupakan cara untuk merefleksikan masa transisi sosial dan budaya Indonesia setelah reformasi. Era 2000-an dipandang sebagai masa penuh semangat, namun masih menyimpan jejak tekanan dari periode sebelumnya.

"Selain untuk kita me-reflect kembali masa-masa itu, kita hari ini juga bisa merasakan apakah masih ada, bukan secara look-nya tetapi secara kepribadian atau culturally gitu apakah masih relevan gitu hari ini," ujarnya.

Baca Juga: Bukan Sekadar Nostalgia, Film Rangga & Cinta Jadi Cermin Sejarah yang Terus Berulang

"Itu menarik untuk kita tengok lagi hari ini, ada di mana kita hari ini dan seperti apa remaja-remajanya (pada masa itu)," lanjutnya.

2. Romantisme yang Tak Bisa Digantikan Teknologi

Salah satu alasan yang paling mencolok di balik keputusan kreatif ini adalah dampak teknologi modern terhadap alur cerita.

Mira Lesmana menyoroti bahwa jika kisah Rangga dan Cinta diangkat di era digital saat ini, banyak momen emosional yang dulu ikonik akan kehilangan intensitasnya.

"Kalau dibuatnya hari ini, gampang banget buat Cinta ngejar ke airport, tinggal telepon. Maksudnya itu sesuatu yang sangat menarik untuk dilihat oleh remaja hari ini, bagaimana proses pertemanan atau interaksi di masa itu, cukup berbeda, dengan hari ini," ujar Mira Lesmana lembut.

Dengan tetap menggunakan latar awal 2000-an, film ini tidak hanya membangkitkan nostalgia, tetapi juga membuka ruang bagi generasi muda untuk memahami dinamika cinta dan komunikasi di masa sebelum teknologi mendominasi.

Meskipun latar waktu menjadi elemen penting, Mira menegaskan bahwa inti dari kisah cinta remaja tetap bisa dirasakan oleh penonton lintas generasi.

3. Fungsi Sejarah dalam Cerita Cinta

Riri Riza menekankan bahwa latar waktu dalam film bukan sekadar elemen visual, melainkan bagian penting dari narasi yang memperkuat karakter dan konflik. Ia mencontohkan hubungan Rangga dan ayahnya sebagai cerminan dinamika sosial-politik khas masa transisi reformasi.

"Mungkin yang Mira maksud dengan menggambarkan waktu, reformasi, kalau di lihat di ceritanya kan ada cerita tokoh Rangga dan ayahnya yang bisa, mungkin bisa dirasakan. Dan itu tidak bisa dilepaskan dari cerita Ada Apa Dengan Cinta," imbuh Riri Riza.

Bagi para aktor muda yang terlibat, latar waktu tersebut juga menjadi media pembelajaran sejarah yang hidup dan bermakna, bukan hanya bagi penonton tetapi juga bagi mereka sendiri.

"Sebenarnya buat teman-teman pemain juga, karena buat kita semua ini, ini pengalaman untuk belajar sejarah dan juga belajar tentang bagaimana film itu bisa menceritakan sebuah masa dengan jelas," pungkasnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI