Suara.com - Kebijakan pemerintah khususnya Menteri Kesehatan dalam penanganan Pandemi Covid-19 kembali mendapatkan kritik. Kali ini kritik tersebut datang dari Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr dr Zainal Muttaqin, SpBS(K), PhD.
Isi surat terbuka itu bukan hanya mewakili perspektif Prof Zainal, namun juga para dokter umum, spesialis, residen di Indonesia saat ini.
Dalam surat terbuka yang diterima Suara.com, Selasa, (13/10/2020), ia menyoroti berbagai langkah Menkes Terawan yang sempat meremehkan dan menyepelekan dampak dari pandemi ini. Menurutnya, sikap tersebut yang membuat Indonesia kini gagap dalam menangani pandemi.
Tak hanya itu Prof Zainal juga menyoroti masih kurangnya langkah untuk melakukan tes pada masyarakat untuk mengetahui kasus virus corona. Padahal, anjuran WHO dalam penanganan pandemi ini ialah dengan melakukan testing, tracing, dan treatment.
![Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto (tengah) memberikan keterangan pers terkait dua WNI yang positif terkena virus Corona di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Senin (2/3). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/03/02/30530-menteri-kesehatan-republik-indonesia-terawan-agus-putranto.jpg)
Berikut ini kutipan lengkap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr dr Zainal Muttaqin, SpBS(K), PhD.
Ada sebuah kalimat bijak: "Di saat Anda tidak bisa memperbaiki keadaan, paling tidak janganlah berbuat sesuatu yang akan memperburuk dan memperkeruh keadaan". Terkait dengan carut marutnya persoalan menghadapi dan mengatasi pandemi COVID-19 ini, mulai dari perbedaan data korban mati sampai saling bertolak belakangnya kebijakan antara pusat daerah dan antar kementerian, Kementerian Kesehatan haruslah menjadi wajah dari kehadiran negara dan pemerintah yang menjadi ‘komandan lapangan’ di medan laga pertempuran melawan COVID-19.
Masih terbayang di benak ingatan kita, saat COVID-19 ini mulai masuk ke beberapa negeri tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, alih-alih memimpin di lapangan, komandan Terawan bahkan abai dan terkesan menyepelekan ancaman wabah yang ada di ambang pintu, atau mungkin sudah mulai masuk tanpa terdeteksi.
“Jangan Panik, Jangan Resah, Enjoy saja, ya Harvard suruh ke sinilah untuk melihat, kan virusnya ringan-ringan saja, Batuk Pilek itu kematiannya lebih tinggi dari virus Corona ini, memang ini akan sembuh sendiri, Corona ini tidak seganas Flu Burung, dengan mortality yang lebih rendah”, semua ini adalah ucapan sang ‘Komandan Lapangan’ di depan media resmi.
Baca Juga: Update Positif Corona Batam 13 Oktober, Hampir 2.000 Orang COVID-19
Sikap seorang komandan yang abai dan menyepelekan perang melawan COVID-19 inilah yang secara langsung menyebabkan gagap dan terlambatnya respons seluruh pasukan di lapangan dalam peperangan ini.
Saat ini kita sudah memasuki bulan kedelapan sejak pertama kali virus ini resmi masuk ke Indonesia. Belum lagi tampak tanda-tanda terkontrolnya wabah ini, bahkan sebaliknya penularan semakin tinggi dan penyebaran semakin luas, dengan jumlah kasus terkonfirmasi lebih dari 303 ribu, dengan kematian lebih dari 11.151 orang (Gugus Tugas, s/d 4 Oktober 2020). Di sisi lain kapasitas rumah sakit untuk mengelola dan mengobati 20% pasien yang bergejala sedang sampai berat sudah hampir terlampaui, dengan dampak angka kematian Tenaga Kesehatan yang cukup tinggi, bahkan proporsinya tertinggi di dunia.
Dari awal Pandemi COVID-19, WHO sudah mengingatkan tentang pentingnya 3 T (Test, Tracing, dan Treatment) sebagai senjata ampuh yang dianjurkan dalam perang melawan COVID-19.
Semua ilmuwan sepakat bahwa test yang diperlukan adalah Test Swab PCR, bukan Rapid Test (antibodi) yang angka Positif Palsu maupun Negatif Palsu nya lebih dari 30%.
Lagi-lagi tanpa alasan yang terbuka dan jelas, pendapat sains ini ditelikung dan dibungkam dengan mengimpor sebanyak-banyaknya test Rapid, bukannya PCR.
Bahkan sampai saat memasuki bulan kedelapan perang menghadapi Pandemi ini, kapasitas test kita belum bisa mencapai yang dianjurkan WHO yaitu 1 test per 1000 penduduk dalam 1 minggu, atau 1000 test per 1 juta penduduk dalam 1 minggu.
Kita baru bisa mencapai 70% dari standar WHO (@pandemictalks, 27 September 2020), tapi persoalannya adalah ketimpangan kapasitas test antar provinsi.
Hanya DKI yang kapasitas test-nya melebihi standar WHO, sedangkan beberapa provinsi (Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur) bahkan memiliki kapasitas test kurang dari 100 per 1 juta penduduk.