Mendukung pemaparan tersebut, Prof. Purwiyatno Hariyadi, Guru Besar Teknologi Pangan dari IPB, memberikan penjelasan yang menyeimbangkan pandangan terhadap makanan ultra proses. Dalam forum yang sama, ia menekankan bahwa stigma negatif terhadap makanan ultra proses perlu dikaji ulang secara lebih objektif.
"Seringkali makanan ultra proses dianggap tidak sehat, padahal sebenarnya tidak bisa disamaratakan. Ada produk ultra proses yang bernilai gizi tinggi dan bermanfaat, tergantung pada formulasi dan komposisinya," ujar Prof. Purwiyatno.
Ia mencontohkan produk seperti daging nabati, protein bar, atau susu protein, yang meskipun melalui proses industri yang kompleks, tetap memiliki nilai nutrisi tinggi dan dibutuhkan dalam gaya hidup masyarakat modern.
Menurut sistem klasifikasi NOVA, makanan ultra proses didefinisikan sebagai produk dengan kandungan aditif seperti pemanis buatan, pewarna, pengemulsi, dan perisa sintetis. Namun, sistem ini menurut Prof. Purwiyatno masih terlalu menyamaratakan dan belum mempertimbangkan kualitas nutrisi akhir dari produk tersebut.
"Kita perlu meninjau ulang sistem NOVA agar tidak membingungkan masyarakat. Misalnya daging alternatif, yang masuk kategori ultra proses, padahal dari sisi gizi dan dampak lingkungan justru memiliki banyak nilai positif," tambahnya.
Solusi: Edukasi, Inovasi, dan Kesadaran Konsumen
Kedua narasumber sepakat bahwa solusi terhadap masalah ini tidak cukup hanya dengan melarang atau menyalahkan produk ultra proses. Edukasi gizi, reformulasi produk oleh industri, serta kesadaran masyarakat dalam membaca label dan memahami kandungan makanan adalah kunci utama.
"Masyarakat sebaiknya tidak hanya fokus pada apakah makanan itu diproses atau tidak, tapi lebih penting melihat komposisi nutrisinya. Waspadai kadar gula, garam, dan lemak, bukan semata-mata metode pengolahannya," tutur Prof. Purwiyatno.
Sementara itu, pemerintah juga telah mengambil langkah dengan mewajibkan produsen mencantumkan peringatan kesehatan pada produk olahan yang melebihi batas konsumsi harian gula, garam, dan lemak. Ketentuan ini wajib dipenuhi maksimal dalam waktu 4 tahun sejak diundangkan.
Baca Juga: Jelang Ramadan, Komisi IX Ingatkan Pentingnya Keamanan Pangan
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Marudut, menjaga kesehatan masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan pola makan alami, tetapi juga perlu menyesuaikan dengan realitas modern dan mengedepankan edukasi serta regulasi yang kuat.
Pemaparan dalam simposia ini menjadi sinyal kuat bahwa kesehatan masyarakat membutuhkan sinergi antara ilmu gizi, teknologi pangan, kebijakan publik, dan kesadaran konsumen.