Mitos Gizi yang Menyesatkan Bisa Bikin Balita Kekurangan Zat Besi!

Dinda Rachmawati Suara.Com
Senin, 21 Juli 2025 | 06:00 WIB
Mitos Gizi yang Menyesatkan Bisa Bikin Balita Kekurangan Zat Besi!
Ilustrasi Anemia Pada Anak (Dok Freepik)

Suara.com - Di balik senyum polos anak-anak Indonesia, tersimpan ancaman yang kerap luput dari perhatian: anemia defisiensi besi (ADB). Data menunjukkan, satu dari tiga anak Indonesia mengalami kondisi ini. 

ADB terjadi ketika tubuh kekurangan zat besi, sehingga tidak mampu memproduksi hemoglobin secara optimal, zat penting dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.

“Jika terjadi pada balita, dampaknya sangat serius. Anemia dapat menghambat perkembangan otak, mengganggu kemampuan motorik, dan berdampak jangka panjang pada prestasi belajar anak,” kata dr. Natalie D. Muth, ahli gizi anak dari Healthy Children.

Mengapa Anak Usia Dini Rentan?

Usia 6 hingga 24 bulan disebut sebagai periode paling rawan. Mengapa? Karena pada usia ini, kebutuhan zat besi melonjak hingga 40 kali lipat, sementara cadangan zat besi dari dalam tubuh bayi mulai menipis.

“Sebanyak 97% kebutuhan zat besi pada usia ini seharusnya dipenuhi dari makanan pendamping ASI (MPASI),” tulis Kementerian Kesehatan RI dalam situs resminya. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan MPASI yang kaya akan zat besi.

Salah Kaprah Gizi, Ancaman Baru

Kekeliruan dalam memahami nutrisi menjadi penyebab utama kekurangan zat besi. Salah satunya adalah anggapan bahwa susu menyebabkan kegemukan atau bahwa semua jenis susu memberikan manfaat yang sama. 

Padahal, susu sapi yang dikonsumsi sesuai kebutuhan usia, justru memberikan banyak manfaat bagi pertumbuhan anak.

Baca Juga: Asmirandah Ungkap Kunci Pola Makan Sehat untuk Chloe: Feeding Rules Jadi Andalan!

Dikutip dari laman Healthy Children, dokter anak dan ahli diet Natalie D, Muth, MD, MPH, RDN, FAAP juga memberikan saran asupan susu untuk balita. Anak usia 12 – 24 bulan, kebutuhan konsumsi susu 470 ml per hari. Sementara kebutuhan susu anak 2-5 tahun sebanyak 470 ml – 709 ml per hari. 

Susu sapi dikenal sebagai sumber nutrisi yang penting bagi anak. Terdapat kalsium, vitamin D, protein, vitamin A, dan zinc, yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. 

Karena itu, penting untuk meluruskan kesalahpahaman tentang susu dan meningkatkan kesadaran akan manfaatnya bagi semua usia. 

Peran Strategis Kader Posyandu: Tapi Masih Banyak Tantangan

Masalahnya tak hanya soal makanan di meja. Sosialisasi dan edukasi tentang gizi juga masih lemah di lapangan. Di sinilah kader posyandu seharusnya berperan besar. Namun kenyataannya, banyak kader belum dibekali pemahaman yang cukup.

“Kader Posyandu adalah garda terdepan yang langsung bersentuhan dengan warga, terutama ibu dan anak,” jelas Dr. Erna Karim, M.Si., dosen Sosiologi Universitas Indonesia. “Mereka menjadi sumber utama pemahaman masyarakat tentang gizi dan kesehatan keluarga.”

Namun menurut Erna, apresiasi terhadap kader sering kali minim. Pelatihan gizi masih langka, insentif pun terbatas. Akibatnya, banyak kader hanya melakukan rutinitas teknis, datang, menimbang, mencatat, lalu pulang.

“Bukan karena mereka tidak peduli,” ujar Erna. “Tapi karena kurangnya dukungan, motivasi, dan pelatihan membuat mereka tidak bisa menjalankan peran penyuluh kesehatan secara maksimal.”

Karena itu, menurut Erna apresiasi terhadap kader posyandu perlu ditingkatkan. Bukan hanya apresiasi dalam bentuk materi, namun juga keperluan pembekalan serta pelatihan masih kurang. 

Akibatnya, kader tidak memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang memadai dalam menjalankan perannya sebagai penyuluh kesehatan. 

“Dampaknya membuat kader tidak mampu memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat, baik tentang kesehatan keluarga maupun kebutuhan gizi anak. Informasi tentang stunting misalnya, masih banyak kader yang tidak paham apa dan bagaimana gangguan pertumbuhan yang menjadi ancaman masa depan bangsa ini,” tambah Erna. 

Saatnya Bergerak Bersama

Anemia pada balita bukan sekadar isu medis, melainkan persoalan pembangunan manusia. Gizi yang buruk hari ini bisa jadi beban ekonomi dan sosial di masa depan. 

Maka perlu ada upaya kolektif—dari keluarga, tenaga kesehatan, hingga kebijakan publik, untuk mencegah dan mengatasi ADB.

Meluruskan pemahaman tentang nutrisi, memastikan balita mendapat asupan zat besi cukup, dan memberdayakan kader posyandu secara berkelanjutan adalah kunci.

Karena masa depan bangsa, sejatinya ditentukan dari sehat atau tidaknya anak-anak hari ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI