Krisis Sunyi di Asia: Penyakit Pernapasan Kronis dan Beban Ganda yang Kian Menghimpit

Vania Rossa Suara.Com
Rabu, 06 Agustus 2025 | 14:15 WIB
Krisis Sunyi di Asia: Penyakit Pernapasan Kronis dan Beban Ganda yang Kian Menghimpit
Ilustrasi penyakit pernapasan kronis. (Freepik)

Suara.com - Bagi jutaan orang, aktivitas sederhana seperti berjalan kaki atau naik tangga bisa menjadi perjuangan berat akibat sesak napas yang membatasi ruang gerak mereka. Inilah kenyataan hidup para pasien penyakit pernapasan kronis (Chronic Respiratory Diseases/CRD), yang kerap tak terlihat dalam sorotan utama kebijakan kesehatan, meskipun dampaknya sangat nyata—baik secara medis, sosial, maupun ekonomi.

CRD—termasuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), asma, penyakit paru akibat kerja, dan hipertensi pulmonal—masih menjadi tantangan besar di berbagai belahan dunia, terutama Asia.

Kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oseania menempati posisi kedua tertinggi secara global dalam hal angka kematian dan tahun kehidupan yang hilang akibat CRD.

Sejak 1980 hingga 2020, kawasan ini mencatat kematian dini tertinggi akibat paparan partikel udara halus (PM2.5), di mana sekitar 15% di antaranya disebabkan oleh penyakit pernapasan.

Risiko CRD semakin diperbesar oleh kebiasaan merokok, polusi udara dalam dan luar ruangan, serta paparan zat berbahaya di tempat kerja.

Pada tahun 2021, hampir 470 juta orang di dunia hidup dengan CRD, dengan 4,5 juta kematian setiap tahunnya. Di Asia, lebih dari 65 juta orang terdampak, termasuk di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.

Namun, meskipun angka prevalensinya tinggi, CRD masih belum masuk dalam prioritas utama kebijakan kesehatan nasional maupun regional. Akibatnya, intervensi yang tersedia belum sepadan dengan besarnya beban yang ditimbulkan.

Dampak ekonominya pun signifikan. PPOK diperkirakan menyebabkan kerugian global sebesar USD 4,3 triliun selama 2020–2050. Di Asia, biaya rawat inap menjadi komponen terbesar dalam penanganan CRD—memberi tekanan besar pada sistem kesehatan publik.

Sementara itu, terbatasnya akses terhadap layanan diagnostik seperti tes fungsi paru, serta tingginya angka kekambuhan pada penderita PPOK dan asma, memperkuat urgensi untuk membangun sistem layanan kesehatan yang lebih responsif, merata, dan berorientasi pada pencegahan jangka panjang.

Baca Juga: Di Balik Naiknya Kasus Gagal Ginjal, BPJS Kesehatan Jadi Penyelamat Jutaan Jiwa Termasuk Disabilitas

Tantangan Penanganan Penyakit Pernapasan Kronis di Indonesia

Di Indonesia, penyakit pernapasan kronis juga menjadi masalah yang kian mengkhawatirkan. Data tahun 2021 menunjukkan prevalensi asma sebesar 2,35%, PPOK 1,88%, dan CRD secara keseluruhan mencapai 4,19%.

PPOK bahkan menempati peringkat keenam sebagai penyebab kematian terbanyak. Total kerugian ekonomi akibat PPOK diperkirakan melampaui Rp1.499 triliun dalam periode 2020–2050, sementara penyakit pernapasan secara umum diperkirakan menyebabkan penurunan output PDB hingga 18,4% antara 2012–2030.

Namun berbagai tantangan masih membayangi penanganan CRD di Indonesia. Akses layanan kesehatan belum merata, karena fasilitas dan tenaga medis masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan.

Di layanan primer, pengelolaan penyakit kronis belum optimal—baru sekitar 37% program yang berjalan secara efektif. Kebijakan pembiayaan publik belum sepenuhnya mendukung ketersediaan obat-obatan yang lebih tepat sasaran. Rendahnya literasi kesehatan masyarakat pun menjadi hambatan dalam kepatuhan pengobatan dan penggunaan obat yang sesuai.

Dibutuhkan Pendekatan Kebijakan yang Lebih Terintegrasi dan Berkelanjutan

Bulan Desember 2024 lalu, AstraZeneca berkesempatan untuk ikut serta dalam forum kebijakan Lung Health for Life bersama dengan para pakar medis untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong aksi nyata bagi kesehatan pernapasan di Asia.

Dalam diskusi tersebut, AstraZeneca menyoroti beberapa tantangan umum dalam mewujudkan perawatan pasien yang optimal, antara lain: kurangnya diagnosis yang tepat, akses terhadap layanan berkualitas, dan dampak perubahan iklim.

Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, mengatakan bahwa penanganan CRD membutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan. Penguatan riset dan data tentang dampak perubahan iklim serta polusi udara terhadap CRD dapat mendorong kolaborasi lintas sektor—antara bidang kesehatan, lingkungan, dan pembangunan.

Di sisi layanan, penting untuk meningkatkan literasi masyarakat, memperluas pelatihan tenaga medis, serta memastikan ketersediaan alat diagnosis seperti spirometri di fasilitas primer. Pengembangan sistem rujukan, penyediaan obat esensial di semua tingkat layanan, dan penerapan panduan klinis secara konsisten juga menjadi bagian penting dari solusi jangka panjang.

Sebagai bagian dari komitmennya dalam meningkatkan penanganan CRD, AstraZeneca terus memperkuat perannya di Indonesia melalui pendekatan yang menyeluruh.

AstraZeneca aktif menjadi mitra pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menyusun kebijakan dan tata laksana penanganan CRD yang mengacu pada pedoman global terkini dan direkomendasikan. Salah satu fokusnya adalah mendukung penerapan pedoman Global Initiative for Asthma (GINA) 2025, yang tidak lagi merekomendasikan penggunaan SABA tunggal dan menganjurkan terapi berbasis pelega antiinflamasi.

Di sisi lain, AstraZeneca juga fokus pada peningkatan kapasitas layanan, mulai dari edukasi tenaga kesehatan dan masyarakat, hingga perluasan akses terhadap terapi inovatif untuk pasien asma dan PPOK melalui kerja sama dengan jaringan distributor farmasi.

Dalam hal edukasi kepada masyarakat lebih luas, AstraZeneca menghadirkan platform digital nafaslega.id dan stopketergantungan.id sebagai sumber informasi terpercaya seputar asma, termasuk pentingnya penggunaan terapi inhalasi yang sesuai. Seluruh inisiatif ini menjadi wujud nyata komitmen AstraZeneca dalam membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh dan berdaya adaptif dalam menghadapi tantangan jangka panjang.

Menjawab tantangan penyakit pernapasan kronis tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan kesadaran kolektif dan komitmen jangka panjang dari seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, penyedia layanan, pelaku industri, akademisi, hingga masyarakat—untuk bersama-sama membangun sistem kesehatan yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan.

Dengan langkah kolaboratif yang tepat, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kualitas hidup masyarakat, di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk bebas bernapas, bebas beraktivitas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI