Suara.com - Ada fenomena yang tidak lazim setelah perceraian. Alih-alih tinggal terpisah, mereka bersedia tinggal satu atap, meskipun dalam keadaan terpaksa.
Biduk rumah tangga Pang Ting yang dibinanya selama delapan tahun bersama suaminya harus kandas di tengah jalan beberapa bulan yang lalu.
Perempuan profesional berusia 40 tahun itu masih tetap tinggal satu atap bersama mantan suaminya. Kerelaannya hidup bersama lelaki yang sudah tidak dicintainya lagi itu dilatarbelakangi kondisi keuangan.
Dia bersama mantan suaminya itu pada 2005 harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak 700.000 yuan atau Rp1,36 miliar agar bisa memiliki apartemen. Namun apartemen yang mereka tempati bersama itu kini harganya sudah mencapai 4 juta yuan (Rp7,8 miliar) atau hampir empat kali lipat dari harga perolehan 12 tahun yang lalu.
"Tidak satu pun di antara kami yang mampu membelinya. Di antara kami harus bisa menyediakan uang 2 juta yuan," tutur Pang sebagaimana dikutip harian Global Times baru-baru ini.
Menurut dia, membeli rumah bukanlah langkah terbaik karena harganya saat ini sangat tinggi sehingga bagi salah satu dari keduanya harus membayar 2 juta yuan.
Selama mantan pasangan suami-istri tersebut tidak menemukan solusi terbaik atas persoalan tersebut, maka harus bersedia hidup dalam satu atap meskipun sudah tidak ada cinta lagi.
"Tingginya harga rumah di Beijing memaksa sejumlah pasangan suami-istri harus hidup bersama setelah bercerai," kata Yin Xianglong, pengacara spesialis kasus rumah tangga di Beijing.
Ia mengungkapkan bahwa pada saat pasangan suami-istri bercerai dan tidak mengajukan gugatan hukum di pengadilan, maka mereka harus bisa menjual rumah yang selama ini ditempatinya satu sama lain dan membagi hartanya atau salah satu pihak membeli separuh dari apartemen tersebut dengan harga yang telah disepakati bersama.
Menurut dia, mantan pasangan suami-istri yang tinggal di tempat yang sama setelah bercerai merupakan fenomena yang sedang tren, namun biasanya berlangsung dalam waktu yang tidak relatif lama.
"Fenomena itu akan berakhir setelah salah satu pihak mulai pacaran lagi dengan kekasih barunya dan menginginkan rumah tangga yang baru," tutur Yin.
Dalam salah satu artikel yang dipublikasikan laman hukum hg.org dan portal berita milik pemerintah setempat menyebutkan bahwa meskipun kearifan lokal mendorong bahwa jalinan rumah tangga semestinya berakhir seiring dengan gagalnya ikatan perkawinan, kondisi perekonomian saat ini telah memaksa beberapa orang tetap tinggal bersama setelah jatuhnya "sighat" talak.
Laman tersebut mengungkapkan bahwa sejumlah mantan pasangan suami-istri tidak hanya menanggung kerugian besar saat menjual rumah mereka, melainkan juga harus mampu menyediakan pendapatan tambahan untuk bisa mendapatkan rumah lagi.
Alasan Keuangan Pang merasa yakin perceraian dengan suaminya akan berlangsung lama, namun kepemilikan apartemen akan kembali ke tangannya secara penuh.
Dia tahu mantan suaminya ingin menikah lagi. Namun seperti dirinya, mantan suaminya itu masih memikirkan apartemen tersebut.