Ia menyampaikan bahwa kegiatan pendakian gunung sebetulnya mengandung dan mengundang risiko yang sangat tinggi. Kecelakaan di gunung bisa terjadi lantaran dua faktor, dari gunung seperti hujan dan badai atau kelalaian manusia itu sendiri karena minim pengetahuan.
Ia bercerita, pernah gagal mencapai puncak Gunung Kerinci di Sumatera lantaran melihat tanda akan datangnya badai. Menurutnya, mungkin dirinya akan memaksa diri menggapai puncak jika tak memiliki wawasan mengenali tanda-tanda alam.
"Pendaki sekarang mengabaikan wawasan pengetahuan. Karena menganggap gampang. Makanya sangat sering terkena hipotermia. Itu kan sesuatu yang sangat kecil, tapi masalahnya besar bisa sampai kematian," ucapnya.
Persoalan sampah juga cukup pelik terjadi. Menurutnya, pendaki yang memiliki wawasan dari organisasi pegiat alam akan paham tidak membuang sampah sembarangan. Sayangnya, hanya 20 persen dari total pendaki yang benar-benar pernah ikut pendidikan di organisasi.
Fenomena itu yang membuat Abah Bongkeng ingin terus membagikan edukasi mengenai pengetahuan hidup di alam terbuka bersama EAST melalui pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan.
"Ingin memberikan hal yang baik dalam pendakian gunung bagaimana caranya teman-teman menyadari hal tidak baik coba kita buang jauh. Mari sama-sama," ujarnya.
Usia tak pernah membatasi Abah Bongkeng untuk terus menjelajah. Dalam waktu dekat ia bahkan telah berencana kembali melakukan ekspedisi di salah satu gunung di Kalimantan.