Stigma sebagai transgender sudah melekat pada masing-masing santri dan tak banyak orang yang bisa memahami keadaan mereka. Bahkan dipandang negatif oleh masyarakat.
Itu sebabnya, Shinta mengutamakan ajaran akhlak kepada para santrinya agar tetap berperilaku baik kepada masyarakat sekitar.
"Kami terus mendorong mereka untuk berakhlak dan berbaur dengan warga lainnya. Hal itu pasti sulit. Namun ketika berlaku baik di lingkungan tempat kita hidup, banyak hal yang bisa menerima kami apa adanya," ujarnya.
Pelajaran agama yang dibahas mulai dari Fiqih hingga Bulughal Maram yang dibimbing oleh enam ustad. Bahkan ada pula pelajaran untuk agama lain bagi waria yang tidak beraga Islam.
4. Menerima Santri non Muslim
waria berkeyakinan Kristen-Katolik juga bisa mendapat bimbingan keagamaan. Sejak 2019, Ponpes Al-Fatih bekerjasama dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk jadi pengajar.
Sampai pada 2020 lalu, ada empat orang waria yang berkeyakinan Kristen-Katolik di pesantren tersebut.
5. Berharap Stigma Terhadap Waria Bisa Berubah
Berbaur dengan masyarakat menjadi hal utama yang selalu digaungkan di ponpes tersebut. Ketika belum ada Covid-19, warga sekitar kerap diundang untuk belajar bersama para waria setiap Sabtu sore. Pembelajaran mulai dari berbahasa inggris, cara memasak, hingga merias.
Baca Juga: Pemerhati Anjing Laporkan Aktivis Lainnya Karena Unggahan di Facebook
Shinta tak memungkiri bahwa mengubah pandangan masyarakat akan teras sulit. Apalagi dengan budaya yang dianut di Indonesia saat ini. Namun begitu, ia berharap para santrinya memiliki keyakinan kuat terhadap agama. Sehingga mampu menjaga dan memahami yang baik dan buruk untuk mereka.