Menurut buku ‘Haji: Ibadah yang mengubah Sejarah Nusantara’ karya Kyota Hamzah, gelar haji di Indonesia merupakan tradisi yang pertama kali diterapkan pada 1916.
Mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 1859, pemberian gelar haji di Indonesia diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Hal ini lantaran orang-orang yang mampu pergi haji dianggap lebih tinggi derajatnya, seperti ulama dan pejabat.
Menurut Belanda, ketika itu kalangan ulama dan pejabat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh sehingga mudah didengar oleh masyarakat.
Inilah yang menjadi kekhawatiran Belanda. Mereka menganggap pengaruh yang dimiliki para haji dapat memicu pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Karena itulah, gerak-gerik orang-orang yang sudah berhaji perlu diawasi, sekiranya ada perbedaan pendapat dengan pemerintah kolonial.
Pemerintah Hindia Belanda lalu membuat aturan khusus untuk Jemaah haji di Indonesia, yang isinya memberikan penanda khusus bagi mereka yang sudah pergi haji.
Melalui peraturan ini, mereka yang sudah bergelar haji, wajib mengenakan pakaian khusus, berupa serban, jubah dan peci warna putih.
Tak hanya itu, gelar ‘Haji’ juga harus disematkan di namanya, agar petugas mudah mengawasi gerak-gerik mereka di tengah masyarakat.
Lebih luas dari itu, peraturan yang dibuat Belanda itu juga mewajibkan masyarakat melaporkan siapa saja yang akan berangkat maupun yang baru pulang menunaikan ibadah haji.