Bacaan Niat Puasa 9 dan 10 Muharram, Bolehkah Digabung dengan Puasa Qadha Ramadhan?

Senin, 15 Juli 2024 | 15:11 WIB
Bacaan Niat Puasa 9 dan 10 Muharram, Bolehkah Digabung dengan Puasa Qadha Ramadhan?
Bacaan Niat Puasa 9 dan 10 Muharram, Bolehkah Digabung dengan Puasa Qadha Ramadhan? (Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

3. Lafal niat puasa Tasua dan Asyura di siang hari

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â awil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunnah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah SWT.”

4. Lafal Niat Puasa Qadha Ramadhan

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin 'an qadhā'I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta'âlâ.

Artinya: "Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT."

Hukum Menggabungkan Puasa 9 dan 10 Muharram dan Qadha Ramadhan

Menyadur dari laman NU Online, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukum menggabungkan niat puasa qadha Ramadhan dengan puasa Tasua-Asyura. Pendapat pertama menyebut sah dan kedua-duanya bernilai pahala, lalu pendapat kedua tidak diperbolehkan bahkan keduanya tidak sah.

Imam Ar-Ramli (wafat 1004 H) menerangkan melalui kitabnya Nihayatul Muhtaj terkait keabsahan ketika menggabungkan dua niat puasa qada dengan puasa sunnah. 

وَلَوْ صَامَ فِي شَوَّالٍ قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ غَيْرَهُمَا أَوْ فِي نَحْوِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ حَصَلَ لَهُ ثَوَابُ تَطَوُّعِهَا كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - تَبَعًا لِلْبَارِزِيِّ وَالْأَصْفُونِيِّ وَالنَّاشِرِيِّ وَالْفَقِيهِ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ الْحَضْرَمِيِّ وَغَيْرِهِمْ

Baca Juga: Bacaan Doa Buka Puasa Tasua dan Asyura Sekaligus Qadha Ramadhan Lengkap

Artinya, "Kalau seorang puasa qadha atau nadzar di hari Asyura, maka dia mendapatkan pahala puasa sunnah Asyuranya juga, sebagaimana fatwa ayah kami (Sayamsudin ar-Ramli) mengikuti fatwanya al-Barizi, al-Asfuni, an-Nasyiri, al-Faqih Ali bin Shalih al-Hadrami dan selainnya." (Syihabbuddin ar-Ramli, Nihayatul Mujtaj [Bairut, Darul Fikr: 1984 H] juz III halaman 208).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI