Sejarah Pantai Indah Kapuk PIK, Area yang Disebut Menag Tidak Pernah Ada Suara Azan

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Sabtu, 21 Desember 2024 | 18:24 WIB
Sejarah Pantai Indah Kapuk PIK, Area yang Disebut Menag Tidak Pernah Ada Suara Azan
Sejarah Pantai Indah Kapuk PIK. [sedayuindocity]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Tanggal 5 Januari 1982, Dirjen Kehutanan mengirimkan surat kepada PT Metropolitan Kencana (MK) milik kelompok Ciputra tentang upaya pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk.

Surat ini dibalas PT MK dengan menunjuk PT Mandala Permai (MP) sebagai pelaksana proyek pembangunan. Lalu pada tanggal 31 Juli 1982 itu, Dirjen Kehutanan mengeluarkan SK kepada PT MP yang memutuskan perubahan fungsi Hutan Angke menjadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.

Proyek pembangunan di Hutan Angke Kapuk tersebut diperkuat dengan Surat Menteri Kehutanan tanggal 7 Maret 1984 tentang penyelesaian dan pengeluaran bekas penggarap Hutan Angke Kapuk.

Berdasarkan perjanjian antara Menhut dengan PT MP, sebanyak 831,63 ha dari 1.162,48 ha kawasan hutan Angke Kapuk diserahkan pengelolaannya kepada PT MP.

Rinciannya untuk permukiman 487,89 hektare; bangunan umum mulai dari hotel, cottage, dan bangunan komersial lainnya 93,35 hektare, rekreasi dan olah raga 169,13 hektare dan rekreasi air buatan 81,26 hektare.

Konon nilai proyek Pantai Indah Kapuk di tahun 1991 ditaksir sebesar Rp 6 triliun. Pada saat akan dibangun kawasan ini pada tahun 1992, proyek Pantai Indah Kapuk ditolak pemerintah karena masalah lingkungan.

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup saat itu Emil Salim menerbitkan surat nomor B-655/Men.KLH./3/1992 kepada Pemerintah DKI Jakarta.

Surat tersebut berisi protes atas keberadaan PT Mandala Permai di PIK. Proyek pembangunan dinilai dapat merusak lingkungan yang dapat memicu kekeringan pada musim kemarau yang akan datang serta banjir dikala hujan melanda.

Pembangunan juga akan merusak kawasan hutan dan takut akan mengancam habitat hewan di sana. Meski begitu, proyek ini tetap terus dilanjutkan dan mengklaim bahwa pembangunan dilakukan akan terbebas dari ancaman kerusakan lingkungan.

Baca Juga: 7 Baju Perang Paling Ikonik Sepanjang Sejarah

Pada tahun 1998, krisis moneter sempat menghentikan proyek ini. Pada tahun 2003, Agung Sedayu Group dan Salim Group mengambil alih proyek yang terbengkalai tersebut. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi salah satu lokasi hunian paling mahal di Jakarta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI