Namun karena ayam tetap bertelur selama periode ini, telur-telur tersebut biasanya direbus agar tahan lama dan dikonsumsi kembali pada hari Paskah sebagai bagian dari perayaan.
Praktik ini juga dikaitkan dengan kebiasaan menghias telur sebagai penanda berakhirnya masa puasa. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, hijau, biru, oranye, dan pink pun digunakan untuk menghias telur, masing-masing mencerminkan makna spiritual.
Merah melambangkan darah Kristus, sementara warna-warna lainnya menyimbolkan sukacita, harapan, dan kehidupan baru.
Tradisi menghias telur ini pada akhirnya menyebar dan berkembang menjadi kegiatan menyenangkan untuk anak-anak. Tak hanya mewarnai dan menghias telur, keseruan juga didapat dari aktivitas berburu telur hingga balapan menggulirkan telur di tanah, yang populer di Amerika Serikat.
Pengaruh Festival Pagan dan Dewi Eastre
Beberapa sejarawan, termasuk Profesor Carole Levin dari University of Nebraska, meyakini bahwa telur Paskah juga memiliki akar dari perayaan musim semi dalam tradisi pagan.
Festival untuk menghormati Dewi Eastre, yang dikenal sebagai dewi kesuburan dan musim semi, banyak menggunakan telur sebagai simbol regenerasi. Dalam perayaan tersebut, telur dikonsumsi dan kadang dikubur dalam tanah untuk mendorong kesuburan alam.
Umat Kristen awal kemudian mengadopsi simbolisme ini, namun menerapkannya pada kebangkitan Kristus dan kehidupan baru dalam iman, bukan hanya regenerasi alam semesta.
Walaupun terkesan ringan dan menyenangkan, telur Paskah tetap membawa makna spiritual. Telur yang "mati" saat belum menetas, namun menyimpan kehidupan baru di dalamnya, adalah gambaran indah tentang kebangkitan dan harapan baru — pesan utama dari Paskah itu sendiri.
Baca Juga: Kamis Putih Pakai Baju Warna Apa? Begini Aturan dan Makna Mendalam di Baliknya
Dan tradisi telur Paskah bukan sekadar permainan anak-anak, tapi bagian dari simbolisme mendalam yang mewarnai perayaan Paskah di seluruh dunia. Dengan cara yang menyenangkan, tradisi ini mengajarkan anak-anak tentang kebangkitan, harapan, dan pentingnya kebersamaan.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas