Suara.com - Mudahnya mengakses layanan pinjaman online (pinjol) yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong banyak orang tergoda mengambil dana cepat tanpa mempertimbangkan risiko secara matang.
Padahal, di balik kemudahan pencairan dana, tersimpan berbagai konsekuensi serius yang bisa memengaruhi kondisi keuangan, kehidupan sosial, bahkan status hukum peminjam.
Fenomena ini terus berkembang, seiring peningkatan pengguna platform pinjaman digital yang memanfaatkan layanan tersebut untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif.
Tidak sedikit masyarakat yang akhirnya terperangkap utang pinjol karena lalai menghitung kemampuan untuk membayar kembali pinjaman.
Jika sudah terjerat, dampaknya bukan hanya soal beban bunga yang tinggi, tetapi juga bisa merusak reputasi dan mengancam masa depan peminjam.
Lantas, apa hukum pinjol menurut pandangan Islam?
Mengutip ulasan mui.or.id, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menegaskan bahwa pinjol haram jika mengandung unsur riba dan tekanan kepada peminjam atau nasabah.
Keputusan ini disampaikan dalam Ijtima' Ulama pada November 2021. Fatwa MUI ini terus menjadi rujukan dalam penanganan maraknya kasus pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat hingga saat ini.
Fatwa MUI menyebutkan bahwa transaksi pinjam meminjam pada dasarnya adalah akad tolong-menolong. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Al-Qur’an (QS Al-add [57]: 11) dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan kebaikan dalam membantu sesama yang sedang kesulitan.
Namun, ketika transaksi itu dikomersialisasikan dengan bunga atau ancaman, maka berubah menjadi haram karena mengandung riba.