Suara.com - Setiap menjelang Iduladha, pertanyaan yang kerap muncul di kalangan umat Muslim adalah: apakah kurban wajib bagi yang mampu? Di tengah semaraknya ibadah tahunan ini, tidak sedikit yang masih bingung akan status hukumnya.
Apakah sekadar sunah atau sebenarnya wajib dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial?
Dalam tradisi fikih Islam, para ulama mazhab berbeda pendapat soal hal ini. Mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa kurban adalah sunah muakad, yaitu ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh orang yang mampu.
Namun, Mazhab Hanafi yang diasosiasikan dengan pemikiran Abu Hanifah, berpendapat bahwa kurban adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu secara materi.
Makna dan Filosofi Kurban

Kata “kurban” berasal dari bahasa Arab qorroba-yuqorribu-qurbaanan yang bermakna mendekatkan diri. Ibadah ini merupakan bentuk syukur dan ketaatan seorang hamba kepada Allah. Dalam Al-Qur’an, perintah ini disampaikan secara jelas:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 1-2)
Tak hanya ibadah personal, kurban juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Daging hewan kurban dibagikan secara luas agar bisa dinikmati oleh masyarakat, terutama yang membutuhkan. Inilah bentuk konkret solidaritas umat yang diwujudkan melalui ibadah.
Namun, menjalankan kurban tidaklah mudah. Dibutuhkan kesiapan dana yang tidak sedikit, ditambah kebutuhan logistik dan tenaga dalam proses penyembelihan dan distribusi. Oleh karena itu, kurban memang dianjurkan hanya bagi mereka yang mampu.
Baca Juga: Hukum Puasa Sebelum Kurban: Jangan Sampai Salah!
Definisi “mampu” pun berbeda menurut mazhab yang dianut. Mazhab Maliki menyatakan seseorang mampu jika memiliki kekayaan senilai 30 dinar (sekitar 60 juta rupiah). Sementara Mazhab Syafi’i melihat kemampuan dari cukup tidaknya seseorang membeli hewan kurban tanpa mengganggu kewajiban nafkah kepada keluarga.
Uniknya, Mazhab Hambali memperbolehkan seseorang untuk berutang demi berkurban, selama diyakini sanggup membayar. Sementara Mazhab Hanafi menetapkan bahwa mereka yang memiliki harta melebihi kebutuhan pokok, setara dengan nisab zakat mal (200 dirham), wajib untuk berkurban.
Hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah bahkan menyatakan, “Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekat ke tempat shalat kami.”
Namun pendapat ini tak lepas dari kritik. Ulama seperti Syekh Wahbah al-Zuhaili menyebut hadis tersebut dilemahkan oleh para pakar. Bahkan, disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab – dua sahabat dekat Nabi – tidak selalu berkurban tiap tahun karena khawatir masyarakat menganggapnya wajib.
Rasulullah SAW sendiri menjalankan kurban setiap tahun meski hidup dalam kesederhanaan. Bagi beliau, kurban adalah wujud ketaatan dan rasa syukur. Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan al-Hakim, Nabi bersabda:
“Tiga hal yang wajib bagiku, namun sunah bagi kalian: salat witir, kurban, dan salat Dhuha.”