Uniknya, Mazhab Hambali memperbolehkan seseorang untuk berutang demi berkurban, selama diyakini sanggup membayar. Sementara Mazhab Hanafi menetapkan bahwa mereka yang memiliki harta melebihi kebutuhan pokok, setara dengan nisab zakat mal (200 dirham), wajib untuk berkurban.
Hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah bahkan menyatakan, “Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekat ke tempat shalat kami.”
Namun pendapat ini tak lepas dari kritik. Ulama seperti Syekh Wahbah al-Zuhaili menyebut hadis tersebut dilemahkan oleh para pakar. Bahkan, disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab – dua sahabat dekat Nabi – tidak selalu berkurban tiap tahun karena khawatir masyarakat menganggapnya wajib.
Rasulullah SAW sendiri menjalankan kurban setiap tahun meski hidup dalam kesederhanaan. Bagi beliau, kurban adalah wujud ketaatan dan rasa syukur. Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan al-Hakim, Nabi bersabda:
“Tiga hal yang wajib bagiku, namun sunah bagi kalian: salat witir, kurban, dan salat Dhuha.”
Ini menguatkan pandangan bahwa kurban bukanlah kewajiban bagi umat secara umum, tetapi sangat dianjurkan, sunah muakad. Sebuah ibadah yang membawa pahala besar, bahkan disebutkan satu helai bulu hewan kurban dapat bernilai satu kebaikan.
Distribusi Kurban: Jangan Terpusat di Kota Saja
Masalah klasik dalam pelaksanaan kurban adalah distribusi yang tidak merata. Daging kurban cenderung berputar di kawasan-kawasan yang sama, sementara masyarakat di daerah pelosok, terutama fakir miskin, tak jarang tidak mendapatkan bagian.
Inilah yang coba dijembatani oleh lembaga seperti Dompet Dhuafa melalui program Tebar Hewan Kurban. Mereka mengajak umat untuk menyebarkan daging kurban ke pelosok, agar semua umat muslim, terutama kaum duafa, bisa merasakan keberkahan dan sukacita Iduladha.