Suara.com - Kritik Verrell Bramasta terhadap program 'siswa nakal masuk barak' yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi sorotan publik.
Artis 29 tahun itu meyakini bahwa kenakalan remaja tidak hanya disebabkan oleh faktor disiplin yang lemah, tetapi juga dampak dari masalah lain seperti tekanan sosial maupun emosional.
"Bila kita hanya mengandalkan pendekatan fisik tanpa menyentuh dimensi psikologis dan spiritual, para remaja ini, saya rasa kita malah akan membentuk karakter anak-anak muda yang keras, bukan yang tangguh," ucapnya.
![Verrell Bramasta. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/03/98120-verrell-bramasta.jpg)
Menanggapi kritik itu, Dedi Mulyadi menantang Verrell agar menangani 15 anak nakal yang ada di daerah pemilihannya.
"Ya ampun mas mas kan dapil sini coba turun. Kekhawatiran yang mana ini malah pada mau nitipin. Gini aja deh neh 30 mau masuk bagi 2, mas 15 saya 15," kata Dedi Mulyadi.
Tak sekadar saling lempar argumen, perbedaan sudut pandang antara Verrell yang kini menjadi Anggotta DPR RI dan Dedi Mulyadi ternyata bisa ditelusuri dari akar yang lebih dalam: latar belakang pendidikan mereka yang bertolak belakang.
Verrell Bramasta, aktor sekaligus politikus muda yang kini menjadi anggota DPR RI, dikenal sebagai sosok yang tumbuh dalam lingkungan urban dan berpendidikan modern.
Ia menempuh pendidikan di Indonesia dan sempat berkuliah di luar negeri, tepatnya di Columbia University, New York, dengan jurusan Hubungan Internasional.
Baca Juga: Ledakan Amunisi di Garut Tewaskan 13 Orang, Dedi Mulyadi: Semoga Amal Ibadah Korban Diterima
Sayangnya, ia tidak bisa menyelesaikan pendidikannya tersebut lantaran kesibukannya sebagai aktor sehingga sulit untuk membagi waktu.
Ia juga pernah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Pelita Harapan jurusan S-1 Hubungan Internasional (mengundurkan diri), dan
Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, S-1 PJJ Ilmu Komunikasi.
Saat ini, Verrell Bramasta masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa di Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya Bandar Lampung sejak Juli 2023.
"Saya pilih Darmajaya karena di sini terkenal sekali bagus untuk Prodi Manajemen dan Akuntansinya. Akreditasi kampusnya juga baik sekali," tutur Verrell.
Pendidikan Dedi Mulyadi

Sementara itu, Dedi Mulyadi adalah tokoh yang kuat dengan pendekatan lokalitas dan nilai-nilai kearifan tradisional Sunda.
Dedi lebih banyak mengusung nilai-nilai pragmatis dan struktural dalam membina masyarakat, termasuk dalam mendidik anak-anak yang dianggap “bermasalah”.
Dedi menyelesaikan pendidikannya dari tingkat dasar hingga menengah di kota kelahirannya, Subang. Kemudian, ia melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman, Purwakarta, dan meraih gelar Sarjana Hukum pada tahun 1999.
Selain pendidikannya, ia juga aktif dalam organisasi, menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Purwakarta selama masa kuliahnya. Pendidikan pascasarjana Dedi Mulyadi ia tempuh di Universitas Widyatama, Kota Bandung, di mana ia berhasil menyelesaikan program magister.
Saat ini, Kang Dedi sedang menempuh pendidikan S3 (doktoral) di Universitas Padjadjaran, Bandung, sebagai bagian dari komitmennya untuk terus memperdalam ilmu dan kontribusi terhadap dunia pendidikan serta kebijakan publik.
Kritik Verrell Terhadap Kebijakan Dedi Mulyadi
Kritik Verrell muncul setelah viralnya video Dedi Mulyadi yang “menangkap” sekelompok remaja yang kedapatan nongkrong hingga larut malam. Para remaja itu kemudian “dihukum” dengan dikirim ke barak untuk dibina.
Verrell menyebut bahwa pendekatan semacam itu bisa berdampak pada kesehatan mental anak-anak, apalagi jika tidak didampingi tenaga profesional seperti psikolog atau pekerja sosial.
"Anak-anak nakal itu bukan untuk dihukum atau dipermalukan. Mereka perlu dipahami, didengar, dan dibina dengan pendekatan yang manusiawi," ujar Verrell lewat akun media sosialnya.
Komentar ini langsung menuai pro dan kontra. Banyak yang mendukung Verrell, terutama kalangan urban yang setuju bahwa anak-anak harus diperlakukan sebagai individu yang sedang tumbuh, bukan pelaku kriminal.
Di sisi lain, pendukung Dedi menilai bahwa tindakan tegas dibutuhkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk mengarahkan anak-anak agar tidak salah jalan.
Perbedaan pandangan ini menjadi semakin menarik bila melihat akar pendidikan masing-masing. Verrell yang tumbuh dalam budaya pendidikan Barat cenderung mengedepankan pendekatan restoratif – sebuah metode yang lebih fokus pada perbaikan perilaku melalui empati, dialog, dan reintegrasi sosial.
Sedangkan Dedi yang dibentuk oleh nilai-nilai lokal dan sistem pendidikan konvensional Indonesia, lebih menekankan pada nilai disiplin, tanggung jawab, dan hukuman sebagai pembelajaran.
"Kalau mereka tidak ditindak, mereka akan menjadi beban sosial. Kami tidak memukuli, tidak menyakiti, hanya memberi pembinaan secara tegas," ujar Dedi Mulyadi dalam salah satu video klarifikasinya.
Debat antara Verrell dan Dedi mencerminkan perbedaan paradigma dalam mendidik generasi muda – apakah dengan pendekatan empatik dan psikologis, atau dengan pendekatan struktural dan tegas.