Suara.com - Memperingati 45 tahun kiprah Kalpataru, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)/BPLH mendorong penguatan jejaring dan keberlanjutan aksi pelestarian lingkungan melalui penghargaan lanjutan bertajuk Kalpataru Lestari. Penghargaan ini akan diberikan kepada 12 individu yang sebelumnya pernah menerima Kalpataru dan terus konsisten menjaga lingkungan hingga hari ini.
“Para pemenang Kalpataru itu punya sesuatu, individu yang berbeda dari orang Indonesia lainnya. Menjaga lingkungan, terjun ke lumpur, nanam pohon, kemudian ada juga yang menjaga hutan, bekerja dengan sampah dan itu konsisten,” ujar Sekretaris Utama KLHK/BPLH, Rosa Vivien Ratnawati, saat Sarasehan 45 Tahun Kalpataru di Kuta, Bali, seperti dikutip dari ANTARA.
Vivien menjelaskan, sejak pertama kali diberikan pada 1980, Kalpataru telah mencatat 428 pejuang lingkungan dari seluruh Indonesia. Mereka adalah individu atau kelompok yang berjasa menjaga kelestarian lingkungan di sekitar mereka. Dengan Kalpataru Lestari, pemerintah ingin memberikan apresiasi lebih jauh bagi mereka yang tidak hanya memulai, tetapi juga terus menjaga konsistensi aksi lingkungan hingga bertahun-tahun kemudian.

Rencananya, penghargaan ini akan diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dalam puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2025. Adapun kriteria penerima Kalpataru Lestari mencakup minimal lima tahun aksi berkelanjutan, peningkatan dampak kegiatan, serta replikasi praktik baik ke wilayah lain.
Namun, Vivien juga mengakui bahwa banyak pejuang lingkungan menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pendanaan dan keberlanjutan kegiatan. Untuk itu, KLHK terus memperkuat dukungan, salah satunya lewat Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan pengembangan Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH).
“Sudah ada (pendanaan), biasanya kelompok. Tapi kalau individu, memang dia harus kita buktikan bahwa dia bekerja terus secara profesional, melakukan kegiatan tersebut,” jelas Vivien. Menurutnya, pembiayaan sering kali menjadi kendala utama bagi para penggerak di lapangan agar bisa terus berkegiatan dalam jangka panjang.
Tak hanya soal pendanaan, tantangan lain datang dari sisi konsistensi masyarakat dan lemahnya pendampingan. Untuk itu, KLHK mendorong peningkatan kolaborasi dan keterlibatan dunia usaha dalam mendukung inisiatif lingkungan yang terbukti berdampak nyata.
“Untuk bisa bekerja dengan baik, mereka tentu saja butuh biaya, butuh support. Oleh karena itu, saya mohon kepada teman-teman dari dunia usaha untuk terus mendukung,” ujar Vivien.
Guna memperkuat dasar hukum, KLHK juga meluncurkan Peraturan Menteri LH No. 02 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sistem PJLH, sebagai turunan dari PP No. 46 Tahun 2017. Aturan ini mentransformasikan konservasi dari aktivitas sukarela menjadi bagian dari sistem berbasis insentif.
Baca Juga: Penampakan Sampah Penuhi Saluran Irigasi di Serang
Kalpataru: Simbol Penghargaan bagi Penjaga Kelestarian Lingkungan
Sejak 1980, Pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada individu maupun kelompok yang dinilai berjasa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta kehutanan. Hingga tahun 2022, tercatat sebanyak 408 penerima Kalpataru dari berbagai penjuru Indonesia. Penghargaan ini terbagi dalam empat kategori, yakni perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan, dan pembina lingkungan. Kalpataru bukan sekadar penghargaan simbolis, tetapi juga representasi dari semangat menjaga alam sebagai bagian dari kehidupan.
Nama dan lambang Kalpataru berasal dari tradisi dan mitologi India serta Nusantara. Dalam bahasa Sansekerta, Kalpataru dikenal pula sebagai Kalpavriksha atau Kalpawreksa—pohon pengabul harapan dan permintaan. Pohon ini menjadi simbol keselarasan semesta, mencerminkan tatanan lingkungan yang harmonis antara hutan, tanah, air, udara, dan seluruh makhluk hidup. Di Nusantara, istilah Kalpataru disebut dalam berbagai teks kuno seperti prasasti Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai dan cerita Tantu Panggelaran. Istilah ini juga muncul dalam naskah-naskah klasik seperti Ramayana versi Jawa, Arjunawiwaha, dan Hariwijaya.
Simbol Kalpataru yang digunakan pemerintah saat ini merujuk pada relief pohon yang terukir di sejumlah candi di Jawa Tengah, seperti Candi Mendut, Pawon, Prambanan, dan Borobudur. Dalam relief tersebut, Kalpataru digambarkan sebagai pohon penuh bunga, manik-manik, dan hiasan suci lainnya. Pohon ini biasanya diapit oleh makhluk mitologis setengah manusia setengah burung bernama Kinnara-Kinnari, serta dilengkapi jambangan bunga, payung, dan simbol-simbol perlindungan serta kemakmuran lainnya. Dalam tradisi visual ini, Kalpataru menjadi lambang kehidupan, kesucian, dan keberlimpahan.
Dengan warisan filosofis dan budaya yang kuat, Kalpataru menjadi lebih dari sekadar penghargaan. Ia adalah simbol komitmen dan dedikasi terhadap kelestarian bumi. Pemerintah kini juga memperluas makna penghargaan ini melalui Kalpataru Lestari, yang diberikan kepada para penerima Kalpataru terdahulu yang terus konsisten menjaga lingkungan hingga hari ini. Kalpataru Lestari akan diserahkan pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2025, sebagai bentuk apresiasi atas keberlanjutan perjuangan para penjaga alam. Melalui penghargaan ini, negara tidak hanya mengenang jasa para pelestari lingkungan, tetapi juga mendorong replikasi praktik baik dan penguatan jejaring di seluruh penjuru negeri.