suara hijau

Pundi di Balik Kebun Organik Tegalsari, dari Lahan Mini Jadi Peluang Ekonomi

Selasa, 17 Juni 2025 | 10:16 WIB
Pundi di Balik Kebun Organik Tegalsari, dari Lahan Mini Jadi Peluang Ekonomi
Tanaman labu madu di kebun pembelajaran petani KUB Sarimulyo, Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.(Suara.com/Rendy)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

“Saya bangga ketika melihat warga yang lewat lalu memuji lahan sayur saya. Sebelum dijual, kami memang bikin demo atau mencoba sendiri pupuknya supaya masyarakat bisa melihat manfaatnya. Sudah ada beberapa warga yang ikut menggunakan produk pupuk organik,” ujar Fandoli berkaca-kaca.

Perbandingan antara hasil pertanian organik dan kimiawi juga berbeda. Nah, perbedaan ini turut memantik sorotan dari kelompok. Ngarimin menceritakan, sebagian masyarakat hingga kiwari memang masih mengandalkan pupuk kimia karena akses dan pengunaan yang cukup mudah, meski hasil panennya dinilai kurang memuaskan.

“Tetangga saya yang pakai pupuk kimia daunnya kuning, jagungnya layu. Tapi yang pakai pupuk organik, hasilnya lebih hijau dan segar. Tapi saya paham kalau disuruh beralih ke pupuk organik, masyarakat itu susah. Soalnya ribet. Kalau kimia, pupuk 1,5 hektare cukup setengah hari. Organik harus disemprot 3 hari sekali,” terang Ngarimin.

Peluang ekonomi dari diversifikasi lahan

Selain dari pupuk organik cair, Ngarimin mengakui sistem tanam sayuran juga memberikan peluang lebih cepat ketimbang jagung. Ia membandingkan frekuensi panen kedua jenis tanaman itu. Jagung hanya dipanen dua kali dalam setahun. Sementara, misalnya, buah dan kacang bisa dipanen per 2 bulan. Tak pelak ini menjadi peluang ekonomi baru, tidak cuma dari jagung.

“Kalau buah dan kacang kan biasanya (ditanam), 2 bulan udah panen, dan kita petiknya kan nggak 1-2 kali petik. Kalo tanam jagung kan 4 bulan sekali panen. Kalau nggak nanam, nggak panen lagi. Untungnya, kita menanam sayuran. Biar sedikit, tapi kalau dihitung, bisa lebih banyak meraup pendapatan dari hasil tanaman sayuran,” kata Ngarimin.

Terkait penjualan, hasil panen umumnya dilego ke tetangga. Jika ada hasil panen yang berlebih, baru dibawa ke pasar. Nah, soal harga, Ngarimin memberikan contoh terong. Sayuran tersebut bisa menyentuh harga Rp7.000 ketika sedang tinggi. Kenaikan harga ini terjadi saat momen Idul Fitri. Namun, jika harganya sedang rendah, bisa sampai Rp3.500 hinggaRp4.000.

Ngarimin mengakui, “Awalnya kami jual (hasil panen sayuran–RED) ke tetangga. Jika ada sisa, baru dibawa istri ke pasar. Di kami itu, satu plastik terong diisi 1,5 kilogram. Jadi sekitar 2-3 buah terong. Harganya kalo lagi tinggi bisa sampai Rp7.000. Tapi kalau pas harga murah, bisa Rp3.500 sampai Rp4.000, tergantung musimnya.”

Namun, Fandoli menyoroti pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh para anggota KUB Sarimulyo adalah pemasaran dari produk buatan mereka. Saat ini, mereka hanya menjual dengan warga setempat dengan cara pemasaran dari mulut ke mulut.

“Selama ini kendala kami adalah dalam hal pemasaran produk POC buatan kami, bagaimana caranya supaya penjualan kami bisa dipermudah dan laku tentunya ya. Semoga bisa lebih banyak belajar tentang pemasaran ini,” kata Fandoli.

Baca Juga: Inovasi Sayuran dan Pupuk Organik ala Petani Tegalsari Perangi Krisis Iklim

Eko Maryanto, Ketua Yayasan Rebo Ijo, saat berada di Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.(Suara.com/Rendy Adrikni Sadikin)
Eko Maryanto, Ketua Yayasan Rebo Ijo, saat berada di Dusun Tegalsari, Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.(Suara.com/Rendy Adrikni Sadikin)

Dampak positif dari pendampingan juga dirasakan oleh kelompok. Eko Martono, pendamping dari Yayasan Rebo Ijo yang akrab disapa Eko Tani, menyampaikan pendekatan yang ia lakukan lebih menekankan pada kemandirian.

“Saya hanya memberi pelatihan dan mendorong mereka untuk mengelola sendiri. Tujuannya supaya mereka bisa hidup layak, tahu mengelola uang, dan tidak bingung saat kehabisan,” kata pria berambung panjang tersebut.

Eko yang merupakan Ketua Yayasan Rebo Ijo juga menilai bahwa kelompok ini sudah menunjukkan kemajuan signifikan, dalam hal kemandirian maupun secara ekonomi.

“Dulu mereka masih berhutang. Sekarang, hasil panen cukup untuk makan sendiri. Itu sudah cukup sebagai awal kemandirian,” terang Eko merasa bangga dengan kemajuan anggota KUB Sarimulyo.

Adapun program yang menaungi KUB Sarimulyo tersebut merupakan bagian dari kemitraan Yayasan Rebo Ijo bersama Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia, yang mendukung inisiatif masyarakat sipil dalam adaptasi perubahan iklim dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal.

Inisiatif ini menunjukkan bagaimana adaptasi terhadap perubahan iklim bisa dilakukan dari tingkat lokal. Dengan inovasi dan semangat gotong royong, petani Tegalsari membuktikan bahwa pertanian ramah lingkungan bisa menjadi solusi masa depan serta bisa memberikan dampak baik dari sisi ekosistem, sosial maupun ekonomi.(*)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI