Suara.com - Penetapan Dataran Tinggi Dieng sebagai geopark nasional oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disambut dengan harapan besar, terutama dari para pelaku wisata lokal.
Lebih dari sekadar penambahan status kawasan, penetapan ini dinilai sebagai momentum penting untuk menjaga kelestarian lingkungan, warisan geologi, dan kebudayaan masyarakat setempat.
Berdasarkan Surat Keputusan ESDM Nomor 172.K/GL.01/MEM.G/2025 tertanggal 7 Mei 2025, kawasan Geopark Dieng kini resmi berstatus geopark nasional dengan total luas mencapai 319,36 kilometer persegi.
Wilayah ini terbagi atas dua kabupaten, yaitu Banjarnegara (161,25 km²) dan Wonosobo (158,11 km²), yang mencakup berbagai situs geologi, situs budaya, dan keanekaragaman hayati yang khas di Pegunungan Jawa.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, Alif Faozi, menyatakan bahwa penetapan tersebut membuka peluang besar bagi masyarakat untuk terlibat lebih aktif dalam pelestarian kawasan. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya perencanaan yang inklusif agar status tersebut tidak hanya menjadi label semata.
“Saya mengapresiasi teman-teman yang mengajukan geopark karena waktu awal dulu, saya juga ikut sebetulnya karena berbicara geopark ini ada plus-minusnya,” ujar Alif di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, melansir ANTARA, Selasa (17/6/2025).
Menurut Alif, kehadiran status geopark membawa tanggung jawab baru. Ia menekankan pentingnya peran serta masyarakat dan penguatan konsorsium lintas lembaga sejak awal.
“Geopark Dieng jangan hanya menjadi brand saja lantaran bisa menjadi bumerang seperti halnya Kaldera Toba yang telah ditetapkan sebagai geopark global oleh UNESCO, namun beberapa waktu lalu mendapatkan peringatan dari organisasi di bawah PBB itu,” tambahnya.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, konsep geopark merupakan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang menggabungkan tiga unsur keragaman: geologi (geo-diversity), hayati (biodiversity), dan budaya (cultural diversity). Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui perlindungan dan pemanfaatan potensi kawasan secara berkelanjutan.
Baca Juga: Urusan Listrik Jangan Ngasal, Bahlil Ingatkan Pengusaha Soal Birokrasi dan Izin
Dieng sendiri dikenal sebagai kawasan dengan lanskap vulkanik aktif, danau purba, kawah, serta peninggalan budaya Hindu abad ke-7. Sejumlah situs penting seperti Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan Candi Arjuna menjadi bagian dari daya tarik utama sekaligus titik rawan terhadap tekanan ekowisata yang berlebihan.

Alif menyoroti isu kerusakan lingkungan yang sempat mencuat beberapa tahun lalu, terutama akibat peningkatan wisata tanpa kontrol yang memadai.
“Sama seperti ketika saya mendapatkan penghargaan pariwisata berkelanjutan, di situ ada tanggung jawab kepada pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, dan pelestarian sosial ekonomi yang harus seimbang,” katanya.
Sebagai langkah konkret, masyarakat lokal telah mulai membudidayakan tanaman ramah lingkungan serta menerapkan sistem pengelolaan sampah di kawasan wisata. Kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian lingkungan dinilai sebagai fondasi utama keberhasilan status geopark.
“Sejak awal, kami berusaha bangkitkan kesadaran masyarakat bahwa lingkungan ini harus lestari,” ujar Alif.
Namun demikian, sejumlah tantangan masih membayangi. Salah satunya adalah kondisi Telaga Balekambang yang mengalami sedimentasi dan terancam menghilang. Padahal, telaga ini memiliki nilai mitologis yang tinggi bagi masyarakat lokal.