Suara.com - Greenpeace Indonesia mengungkap bahwa ada 12 izin tambang nikel yang berada dalam kawasan Geopark Global UNESCO Raja Ampat.
Temuan ini menjadi peringatan serius bahwa ancaman terhadap kawasan konservasi kelas dunia tersebut belum benar-benar usai, meskipun pemerintah baru-baru ini mengumumkan pencabutan empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif di wilayah ini.
Dalam laporan bertajuk “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia,” Greenpeace merinci bahwa dari total 16 izin tambang nikel yang pernah ada di Raja Ampat, sebanyak 12 di antaranya masuk dalam wilayah Geopark.
Beberapa di antaranya bahkan sempat dibatalkan atau kedaluwarsa, namun kembali aktif melalui proses hukum atau diterbitkan ulang.
Dua izin yang sempat dicabut, terbit kembali pada 2025. Tiga izin lain aktif lagi usai perusahaan menggugat ke pengadilan dan menang. Satu izin lainnya bahkan mencakup kawasan wisata populer seperti Piaynemo, yang berada di Kepulauan Fam. Rantai pasok bijih nikel dari kawasan ini juga mengalir ke PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara.

Pencabutan sebagian izin dinilai belum menyelesaikan akar persoalan. Apalagi, preseden pengaktifan kembali IUP yang sudah dicabut pernah terjadi. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pencabutan hanya bersifat sementara atau kosmetik.
“Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi,” ujar Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Ia menambahkan, perlindungan menyeluruh tidak cukup jika izin PT Gag Nikel tetap dibiarkan. Apalagi, pemerintah juga diketahui tengah merencanakan pembangunan smelter di Sorong, yang mengindikasikan bahwa ekosistem Raja Ampat masih belum bebas dari ancaman pertambangan.
Dalam peluncuran laporan ini, Greenpeace menghadirkan berbagai pihak untuk memberikan perspektif lebih luas. Ahmad Aris, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP, menegaskan bahwa seluruh pulau dalam laporan Greenpeace tergolong pulau sangat kecil (tiny island).
Baca Juga: Ketua PBNU Panen Kritik Usai Sebut Penolak Tambang Wahabisme: yang Nggak Sejalan Dicap Wahabi
“Kegiatan eksploitasi seperti pertambangan sangat berisiko mengubah dan merusak bentang alam pulau-pulau tersebut,” tegasnya.
Angela Gilsha, aktor dan pegiat lingkungan, turut berbagi pengalamannya saat mengunjungi lokasi tambang di Pulau Kawe. Ia mengaku kaget karena justru dikejar-kejar oleh petugas keamanan tambang saat mencoba mendokumentasikan kondisi di sana.
“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.
Dari sisi tata kelola, Dian Patria dari KPK menyoroti persoalan kerugian negara yang lebih banyak tidak kasat mata, terutama dampak sosial dan ekologis jangka panjang.
“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian.
Sementara itu, Dwi Januanto Nugroho dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa laporan Greenpeace dan desakan publik adalah bentuk kontrol sosial yang sangat penting.