Suara.com - Hamil di luar nikah adalah kondisi di mana seorang wanita mengandung anak tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah menurut agama atau hukum.
Ini terjadi akibat hubungan seksual di luar pernikahan, yang secara Islam dikategorikan sebagai zina dan merupakan perbuatan yang dilarang dan berdosa besar.
Lantas seperti hukum menikah saat hamil karena zina?
Hukum menikah saat wanita hamil karena zina dalam Islam terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, tergantung mazhab yang diikuti:
- Mazhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa menikahi wanita yang hamil akibat zina itu sah, baik oleh lelaki yang menghamilinya maupun yang bukan.
Alasannya, wanita hamil karena zina tidak termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi dan tidak memiliki masa iddah seperti wanita hamil dari pernikahan sah.
- Mazhab Malikiyah dan Hanabilah memiliki pandangan yang lebih ketat, yaitu bahwa menikahi wanita hamil karena zina adalah haram dan tidak sah sebelum wanita tersebut melahirkan (selesai masa iddah).
Menikahinya saat hamil dianggap tidak sah dan wajib dibatalkan. Bahkan, pelaku zina harus bertaubat terlebih dahulu agar pernikahan dapat berlangsung sah.
- Pendapat sebagian ulama lain menyatakan bahwa wanita hamil karena zina wajib menunggu sampai melahirkan sebelum menikah dan tidak boleh disetubuhi selama masa kehamilan tersebut sebagai bentuk iddah untuk membersihkan nasab anak.
Secara umum, pendapat yang paling banyak menjadi rujukan adalah bahwa menikah saat wanita hamil karena zina boleh saja menurut beberapa mazhab (terutama Syafi’i dan Hanafi).
Tapi ada pula pandangan ulama yang melarang dan mensyaratkan menunggu masa iddah sampai melahirkan, dengan alasan menjaga nasab dan kesucian pernikahan serta adanya unsur taubat dari pelaku zina.
Status Anak Hamil di Luar Nikah
Status anak yang lahir dari hasil hamil di luar nikah dalam Islam umumnya sebagai berikut:
- Nasab: Anak hasil hubungan di luar nikah tidak dinasabkan (dihubungkan keturunan) kepada ayah biologisnya, walaupun ayah biologisnya menikahi ibunya setelah kehamilan terjadi. Anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja dan keluarga ibunya. Hal ini ditegaskan baik oleh mayoritas ulama fikih maupun fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
- Hak Waris: Anak di luar nikah hanya berhak mewarisi dari ibunya dan keluarga ibunya. Tidak ada hak waris antara anak dengan ayah biologisnya.
- Wali Nikah: Bila anak tersebut perempuan, walinya bukan ayah biologis melainkan wali hakim atau pejabat berwenang, sebab secara syariat ia tidak dianggap sebagai anak ayah biologisnya.
- Nafkah: Kewajiban nafkah juga hanya dimiliki ibu kandungnya (dan keluarga ibunya), bukan ayah biologis, walaupun dalam hukum negara, ayah biologis bisa saja diwajibkan memberi nafkah jika ada pengakuan atau putusan pengadilan.
- Status Anak: Dalam pandangan masyarakat dan hukum Islam, anak yang lahir di luar nikah tidak menanggung dosa perbuatan ayah-ibunya dan tetap memiliki hak yang sama sebagai manusia. Stigma sosial tidak boleh dibebankan padanya, karena dosa hanyalah milik pelaku zina, bukan anaknya.
“Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya” (Fatwa MUI No.11 Tahun 2012).
Jadi, menurut hukum Islam, status anak yang lahir dari kehamilan di luar nikah berlaku hanya hubungan nasab, waris, kewalian, dan nafkah dengan ibunya, bukan dengan ayah biologisnya, dan anak tersebut tidak memikul dosa perbuatan orang tuanya.