Suara.com - Di tengah hiruk pikuk kehidupan urban yang penuh tekanan, semakin banyak anak muda yang mencari cara untuk kembali terhubung dengan diri mereka sendiri.
Di sinilah Pelarian ArtScape hadir sebagai angin segar, sebuah ruang aman yang menyatukan seni, komunitas, dan kepedulian terhadap kesehatan mental.
Digelar pada Minggu, 2 Agustus 2025, di Krapela, Blok M, ajang ini menjadi tempat berkumpulnya puluhan anak muda, terutama Gen-Z, yang ingin meluapkan emosi dan meresapi kembali makna “merasakan” dalam dunia yang sering kali mendorong mereka untuk hanya “bertahan”.
Dalam atmosfer hangat dan inklusif, mereka mengikuti workshop seni yang diasuh oleh seniman Elsa Diora—bukan hanya sebagai ajang melukis, tetapi juga sebagai medium refleksi dan penyembuhan batin.
Kampanye Pelarian: Dari Kesadaran Menjadi Gerakan Kolektif
Pelarian bukanlah kampanye baru. Lahir dari pengalaman kolektif selama pandemi COVID-19, kampanye ini berkembang dari inisiatif sederhana menjadi gerakan kolektif yang memperjuangkan pentingnya kesehatan mental, khususnya bagi generasi muda.
“Generasi Z urban adalah garda terdepan dalam menyuarakan isu kesehatan mental. Mereka tidak takut membicarakan kecemasan, burnout, atau depresi. Mereka ingin didengar,” ujar Ajeng Campagnita, senior publicist dari Vox Populi Publicists, mitra kampanye Pelarian.
Inisiatif ini kini berevolusi menjadi komunitas Pelarian Tribe, yang terus memperluas pendekatan mereka: dari aktivitas lari, hingga sekarang melalui ekspresi seni yang bersifat terapeutik.
Ketika Melukis Menjadi Terapi
Baca Juga: Apa Arti Menjadi Indonesia? LIFEs 2025 Ajak Menyelaminya Lewat Sastra dan Seni
Workshop Pelarian ArtScape mengajak para peserta untuk tidak sekadar berkarya, tetapi juga menyelami perasaan mereka sendiri. Di bawah bimbingan Elsa Diora, para peserta diajak menuangkan emosi dan cerita yang tak terungkap lewat warna dan bentuk.
“Senang rasanya melihat mereka masih tertarik dengan seni yang lahir dari tangan manusia, bukan AI. Artinya mereka masih ‘in touch’ dengan perasaan mereka,” ujar Elsa. “Melukis itu bukan soal bakat, tapi soal keberanian untuk mendengarkan hati sendiri.”
Aktivitas ini bukan semata soal membuat karya indah. Ini adalah bentuk latihan empati terhadap diri sendiri dan orang lain—suatu kebutuhan esensial yang sering terlupakan dalam kehidupan digital yang serba cepat.
Beberapa peserta juga berbagi pengalaman pribadi mereka selama mengikuti Pelarian ArtScape. Anastasia Sekar, 23 tahun, mengungkapkan bahwa ia awalnya merasa takut karena menganggap dirinya tidak bisa menggambar.
“Tapi ternyata rasanya bebas banget, cuma menuangkan isi pikiran. Rasanya kayak ‘ngumpulin diri lagi’. Kadang kita tahu pentingnya kesehatan mental, tapi terlalu terdistraksi. Kegiatan ini jadi pengingat untuk kembali fokus ke diri sendiri.”
Kreativitas Berakar pada Empati