Menurut Subhan, UU Pemilu secara spesifik mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden harus minimal lulusan SMA atau sederajat.
Subhan berargumen bahwa definisi "sekolah sederajat" dalam undang-undang tersebut seharusnya hanya merujuk pada institusi pendidikan di dalam negeri.
Menurut Subhan, KPU telah melakukan kekeliruan dalam menafsirkan regulasi, khususnya saat menyamakan kualifikasi pendidikan dari institusi asing dengan ijazah setara SMA di dalam negeri.
Subhan bahkan menduga KPU mengalami tekanan politik saat memproses pencalonan Gibran.
"Meski (institusi luar negeri) setara (SMA), di UU nggak mengamanatkan itu. Amanatnya tamat riwayat SLTA atau SMA, hanya itu," kata Subhan.
"Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan luar negeri," lanjutnya.
Gugatan tersebut adalah upaya Subhan untuk menguji legalitas penafsiran KPU di pengadilan. Dia ingin memperjelas apakah KPU memiliki kewenangan untuk menyamakan institusi pendidikan di luar negeri dengan yang ada di Indonesia, mengingat undang-undang tidak secara eksplisit mengamanatkan hal tersebut.
Isi Petitum Subhan

Berikut adalah beberapa poin penting dalam petitum yang diajukan oleh Subhan:
1. Mengabulkan seluruh gugatan.
2. Menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan PMH.
3. Menyatakan status Gibran sebagai Wapres tidak sah.
4. Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi Rp125.000.010.000.000,- yang disetorkan ke Kas Negara.
5. Menuntut hukuman uang paksa (dwangsom) Rp100 juta setiap hari jika putusan tidak dilaksanakan.
Baca Juga: Dicurigai Bukan Ojol, Ini Respons Driver yang Diundang Gibran : Sini Ngopi
Tuntutan dwangsom itu dilayangkan sebagai bukti keseriusan Subhan, demi menjamin putusan pengadilan dipatuhi, tanpa terhalang proses banding atau kasas.
Sebelum melayangkan gugatan perdata ini, Subhan ternyata pernah mencoba jalur hukum lain. Dia sempat mengajukan gugatan serupa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, namun gugatannya tidak diterima.
Alasan PTUN adalah "dismissal", yang berarti PTUN tidak lagi berwenang memeriksa sengketa terkait penetapan pasangan calon karena sudah melewati batas waktu yang ditentukan.
Subhan menegaskan bahwa gugatan ini murni inisiatif pribadi tanpa ada motif politik atau dukungan dari pihak manapun. "Saya maju sendiri, nggak ada yang sponsor," tegasnya.
Selain itu Subhan berdalih hanya ingin memperjelas penegakan hukum di Indonesia, yang menurutnya sempat dibajak atau terbelenggu oleh relasi kekuasaan.
"Saya lihat hukum kita dibajak kalau begini caranya. Nggak punya ijazah SMA (tapi bisa maju Pilpres). Ada dugaan KPU terbelenggu relasi kuasa," pungkasnya.