Temuan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Sejak awal penertiban, petugas berulang kali mendapati kebun sawit, pondok-pondok liar, hingga fasilitas pendukung panen yang tersebar di dalam kawasan konservasi.
Ketika proses penyegelan kawasan dilakukan pada Juni 2024, banyak warga yang mengaku kaget karena sebelumnya mereka merasa sudah lama tinggal dan berkebun di wilayah tersebut tanpa pernah ditegur.
Beberapa di antaranya adalah pendatang yang membangun kebun sawit sejak bertahun-tahun lalu, bahkan ada yang mengklaim sudah tinggal lebih dari satu dekade.
Perlawanan juga muncul, mulai dari keberatan warga yang diminta keluar, hingga aksi perusakan fasilitas taman nasional oleh sekelompok massa yang menolak penertiban.
Dalam beberapa kejadian, portal dan patok batas yang baru dipasang justru dirusak kembali, menunjukkan bahwa ketegangan antara petugas dan warga sudah berlangsung cukup lama.
Puncak kasus ini terjadi ketika pihak Gakkum KLHK menyatakan telah mengantongi nama-nama pemilik kebun sawit ilegal serta pabrik kelapa sawit yang menerima buah dari dalam kawasan Tesso Nilo.
Penelusuran menunjukkan bahwa aktivitas ilegal tersebut bukan hanya dilakukan individu berskala kecil, tetapi juga pemain yang memiliki modal cukup besar dan pengaruh di lapangan.
Pada saat yang sama, tim gabungan mulai mengosongkan kebun sawit yang terbukti berada di dalam kawasan taman nasional, membongkar pondok liar, dan menutup akses keluar-masuk.
Operasi ini masih terus berlanjut, sementara publik mendesak pemerintah agar menyelesaikan persoalan Tesso Nilo secara menyeluruh, baik penegakan hukum terhadap pemilik kebun ilegal maupun perlindungan terhadap warga yang terlanjur tinggal tanpa kepastian.
Baca Juga: Kejagung Ungkap Nilai Aset Sitaan Sawit Ilegal Kini Tembus Rp 150 Triliun
Kontributor : Dini Sukmaningtyas