Cerita Pahit Meliput & Menjadi Wartawan di Papua

Rabu, 29 April 2015 | 18:00 WIB
Cerita Pahit Meliput & Menjadi Wartawan di Papua
Ilustrasi orang Papua. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menjelang Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei nanti, masih ada cerita wartawan dibungkam kebebasannya untuk meliput. Itu terjadi di Indonesia, negara demokrasi yang mempunyai Undang-Undang Pers dan dipuji karena kebebasan pers.

Kisah 'hitam' itu datang dari provinsi paling timur, Papua. Wartawan setempat, Victor Mambor bercerita sangat sulit untuk meliput di sana. Bahkan harus bertaruh dengan nyawa untuk mengungkap sebuah fakta penting. Terakhir peristiwa kematian wartawan Merauke TV Adriansyah Matrais secara misterius.

Sebegitu mengerikan kah meliput di Papua? Victor memberikan fakta jika kekerasan terhadap pers dilakukan secara terbuka.

"Sekarang upaya kekerasan terhadap media di Papua bukan lagi kekerasan ke wartawan lapangan, sudah ke kantor media. Beberapa kali mereka masuk, mengintimidasi wartawan alam kantornya sendiri," jelas Victor dalam diskusi AJI Indonesia bertajuk 'Kebebasan Pers di Bumi Papua' di Gedung Dewan Pers Jakarta, Rabu (29/4/2015).

Sebagai wartawan aktif di Bumi Cenderawasih, Victor merasa diperlakukan berbeda. Itu juga diakui teman-temannya sesama wartawan di sana. Perbedaan mencolok dalam mengeluarkan pemberitaan. Belum lagi imej sparatis yang melekat pada orang Papua, begitu juga wartawan-wartawannya.

"Kalau wartawan papua itu memperlihatkan Bendera Bintang Kejora di cover majalah, wartawan itu akan diperiksa. Kalau (media) di Jakarta nggak apa-apa. Bahkan jelas di TV-TV. Kenapa kami periksa? Apa bedanya kami dengan wartawan di luar Papua?" tanya .

Maka itu, Ketua AJI Papua itu mengatakan kebanyakan pemberitaan media di Papua itu 'manis-manis'. "Kalau media nasional itu berdarah-darah dan cenderung fitnah. Kalau berdarah-darah saja mau memberitakan Papua," paparnya.

Masalah lain, Victor yang merupakan Pemimpin Redaksi tabloidjubi.com itu pernah mendapati 5 'penyusup' di kantornya. Kata dia, hampir semua media massa di Papua mengalami ini. 'Penumpang gelap' itu dicurigai dari aparat keamanan yang menyamar menjadi wartawan atau pekerja media. Tujuannya untuk memata-matai kebijakan redaksinya. Sebab Tabloidjubi ini termasuk yang paling keras memberitakan soal keadaan Papua.

"Bisa dikatakan mereka intelijen. Bayangkan organisasi punya wartawan sendiri. Mereka bekerja untuk intelijen, polisi. Ada juga wartawan jadi informan," paparnya.

Akses wartawan asing ditutup

Banyak wartawan asing yang dihalangi masuk ke Papua. Sampai tahun 2013 saja ada 12 wartawan asing yang dilarang meliput dan dideportasi dari Papua. Namun banyak juga wartawan asing yang bisa masuk meliput.

"Mereka liputan soal pariwisata. Tapi kalau pemberitaan bukan tentang papua itu jarang," kata Victor.

Victor mengaku sering membantu wartawan asing untuk mendapatkan akses di Papua. Akses itu biasanya untuk menjangkau narasumber non-pemerintah.

Kesulitan wartawan asing meliput di Papua dimulai dari pengajuan perizinan di Kedutaan Besar di negara mereka. Banyak aturan yang tidak jelas. Bahkan banyak wartawan asing yang bercerita, pihak Kedutaan Besar Indonesia 'memping-pong' mereka.

"Di negara mereka, mereka mengeluh tidak pernah jelas aturannya. Ketika mereka masuk (mengajukan izin) untuk meliput di Papua, mereka disuruh 3 hari lagi datang. Lalu datang, tapi 'dipim-pong'. Urus-urus ke sana-sini. Dipersulit," kata Victor.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI