Kisah Tukang Cuci di Aceh, 17 Tahun Menabung Demi Naik Haji

Siswanto Suara.Com
Jum'at, 04 September 2015 | 07:13 WIB
Kisah Tukang Cuci di Aceh, 17 Tahun Menabung Demi Naik Haji
Nuraini Ramli Taran warga Geucu Komplek, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, Kamis (3/9/2015). [suara.com/Alfiansyah Ocxie]

Kala itu, kata dia, saat anak-anak seusianya sibuk dengan aktivitas lain, dirinya mulai melakoni pekerjaan sebagai tukang jaga anak. Hari demi hari, sedikit demi sedikit, uang yang ia dapat dari pekerjaannya itu, kemudian ia sisihkan sebagai tabungan.

Namun seiring usianya terus bertambah, Nuraini mulai berpindah profesi sebagai tukang cuci. Setelah tsunami melanda Aceh, saat usia Nuraini berkepala dua, ia menjadi menyuci di tiga rumah yang berbeda.

"Setiap hari, dari rumah sana ke rumah sini. Setiap hari itu rutin, mencuci dan menggosok," katanya.

Pun begitu, gajinya tak terlalu banyak. Jika semuanya dikumpulkan, Nuraini hanya mendapat Rp1 juta per bulan. Setiap rumah tempat ia bekerja, memberi upah dengan jumlah yang berbeda. Mulai dari Rp500 ribu, Rp300, dan Rp200 ribu.

"Ya Allah dalam aku mencari rezeki, semoga aku bisa membantu keluarga. Bisa menunaikan ibadah haji. Itu terus dalam hati saya, supaya apa yang saya kerjakan tidak berat," kata Nuraini.

Gaji yang ia dapat dari pekerjaan-pekerjaan itulah yang selama 17 tahun ditabung menjadi ongkos naik haji. Dikatakan dia, selama 10 tahun menabung, tepatnya pada 2008 silam, jumlah simpanan uang yang dimilikinya mencapai Rp20 juta lebih.

Dan dari situlah hatinya tergerak untuk segera mendaftar dan membuka tabungan haji. Nuraini lantas menyetor uang senilai Rp20 juta 500 ribu, yang ia miliki melalui Bank Aceh.

"Kadang saya nabung Rp200 ribu, bisa-bisa bulan berikutnya Rp300 ribu. Tidak ada jadwal rutin, tapi selama keperluan sudah cukup, uang-uang gaji langsung saya sisihkan untuk keperluan haji," jelas Nuraini.

Meski sudah menyetor uang muka untuk pelaksanaan ibadah, Nuraini, tak langsung mendapat panggilan naik haji. Dia masuk dalam waiting list selama kurang lebih tujuh tahun.

"Di situ saya berdoa setiap hari agar selalu dibukakan pintu untuk segera naik haji," katanya.

Lamanya jadwal menunggu ternyata menjadi keberkahan tersendiri bagi Nuraini. Dalam kurun waktu itu, dia terus berusaha mencukupi ongkos naik haji yang masih kurang. Pekerjaan sebagai tukang cuci terus dilakoninya hingga menjelang pemanggilan pelunasan biaya.

"Saya tidak mau memaksa karena saya tau kondisi saya seperti apa. Jadi saya betul-betul berserah diri kepada Allah, memohon agar dibukakan pintu supaya bisa naik haji. Saya menunggu panggilan Allah, karena memang semua yang kita lakuin ini harus ada restu-Nya," kata Nuraini.

Namun di tengah perjalanannya mengumpulkan uang untuk mencukupi ongkos haji, berbagai tantangan datang melanda. Tak jarang Nuraini mendapat perlakuan kasar dari majikannya. Meski tidak fatal, Nuraini sering dimarahi karena dianggap terlalu boros menggunakan detergen.

"Dalam hati saya, ya Allah, inikah cobaan Mu yang harus hamba lalui. Berikanlah saya kekuatan untuk selalu bersabar menghadapi ini jika memang ini ujian dari Mu. Itu selalu saya ucapkan dalam hati," kenangnya sambil menitikan air mata.

Cobaan lain yang lebih menyedihkan datang melandanya disaat ia hendak menyetor pelunasan biaya haji. Jelang hari terakhir itu, Nuraini ditipu oleh salah seorang rekannya yang datang tiba-tiba ke rumah. Rekan Nuraini meminjam uang sebesar Rp3,5 juta.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

REKOMENDASI

TERKINI