Pria yang saat itu baru berumur tujuh tahun itu mengaku masih terngiang dalam ingatan bagaimana awan panas dan lahar mengalir di sungai dekat Desa Muncan yang merenggut korban jiwa, termasuk penduduk daerah perdesaan yang saat itu masih sangat jarang jumlahnya.
Ketika Gunung Agung mulai menandakan akan meletus, warga yang berdiam di sekitar lereng Gunung Agung tidak serta merta mengungsi. Banyak yang tetap bertahan di rumah masing-masing bahkan hingga enam bulan setelah letusan pertama terjadi.
Hal itu jauh berbeda dengan kondisi sekarang belum apa-apa masyarakat sudah menjauh, bukan hanya penduduk dari 28 desa yang masuk kawasan rawan bencana (KRB), namun juga masyarakat lain, sehingga pengungsi membeludak hingga mencapai 150.000 jiwa, padahal perkiraan KRB yang wajib menjauh hanya sekitar 70.000 jiwa.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan, jika masyarakat dibiarkan mengungsi akan dikhawatirkan beban pemerintah dan tim penanggulangan bencana menjadi semakin berat. Untuk itu perlu kesadaran dan pengertian masyarakat untuk kembali dan mengikuti instruksi dari petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) setempat.
Ke-28 desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Agung yang diwajibkan mengungsi terdiri atas tujuh desa di Kecamatan Kubu meliputi Desa Tulamben, Kubu, Dukuh, Baturinggit, Sukadana dan Tianyar (Tianyar tengah dan barat aman).
Lima desa di Kecamatan Abang terdiri atas Desa Pidpid (bagian atas), Nawekerti, Kesimpar, Datah (bagian atas) dan Ababi (atas dan barat). Di Kecamatan Karangasem, tiga desa meliputi Padangkerta, Subagan dan Kelurahan Karangasem (dekat Tukad Janga).
Di Kecamatan Bebandem terdapat empat desa yang warganya harus mengungsi meliputi Buwana Giri (bagian atas), Budekeling (dekat Sungai Embah Api), Bebandem (bagian atas) dan Jungutan.
Warga dari desa-desa di Kecamatan Selat dan Rendang juga wajib mengungsi yakni Duda Utara, Amerta Buwana, Sebudi, Peringsari, Muncan, Besakih, Menanga dan Pembatan.
Mengungsi Jalan Kaki Gubernur Bali Made Mangku Pastika berkali-kali menekankan masyarakat jangan terlalu khawatir yang berlebihan akan kondisi Gunung Agung. Jika dibandingkan dengan tahun 1963, saat Gunung Agung terakhir meletus, kondisi saat ini tentu berbeda.
Baca Juga: Tiga Pesawat Nirawak Dikerahkan Pantau Gunung Agung
Hal itu berkat mitigasi bencana sudah lebih bagus, peranan pemerintah lebih antisipatif tidak seperti dulu, juga teknologi informasi makin canggih sehingga akan mampu menekan sekecil mungkin jika terjadi hal yang terburuk.
Oleh sebab itu, daerah tujuan wisata Pulau Bali selalu dalam kondisi baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalaupun Gunung Agung meletus semua sudah siap diantisipasi.
Made Tunas mengenang peristiwa pahit yang pernah dialami 54 tahun silam itu dengan tidak serta merta mengungsi begitu Gunung Agung statusnya ditingkatkan dari Siaga menjadi Awas sejak 22 September 2017.
Ia sendiri bertahan di rumah tempat tinggalnya sambil mengurus ternak piaraannya, meskipun istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke GOR Swecapura, Kabupaten Klungkung.
Berdasarkan pengalaman letusan Gunung Agung tahun 1963, saat dirinya berumur tujuh tahun bersama ayahnya baru mengungsi enam bulan setelah letusan pertama sampai ke "desa tetangga" yakni Desa Nongan.
Saat itu, mereka mengungsi dengan berjalan kaki sekitar 15 kilometer akibat tidak ada sarana transportasi berupa kendaraan. Dalam berjalan kaki yang cukup jauh itu, banyak warga masyarakat yang kehausan dan terpaksa minum air sungai.