Pramoedya mulai giat menulis sejak umur 15 tahun. Berkat kepiawaiannya itu, Pram muda menjadi pesohor sastra dan bisa menghidupi diri serta adik-adiknya.
Tulisan-tulisan Pramoedya terbilang realis, terutama mampu merekam kehidupan rakyat sekaligus mengkritik penguasa.
Hal itulah yang membuat banyak orang pada era Presiden Soekarno, bahkan pada era Orde Baru, menilai Pramoedya adalah kader Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Tapi sebenarnya, Pram itu bukan kader PKI. Juga bukan kader Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Bahkan, Pram sering bersitegang dengan elite-elite PKI,” tuturnya.
Soesilo masih mengingat masa ketika Kongres Bahasa diadakan di Solo. Ia lupa tahunnya. Tapi, ia masih jelas mengingat Pramoedya ketika itu diundang menjadi salah satu tokoh pemberi pidato.
Karena kongres itu diikuti oleh Sekretaris Umum Lekra Joebar Ayub dan Menteri Pemuda sekaligus anggota Polit Biro CC PKI Njoto, panitia meminta salinan naskah pidato Pramoedya sebelum dibacakan.
“Katanya mau diperiksa dulu, apa pola pikir dalam pidato Pram itu sejalan dengan Lekra atau tidak. Pram marah. Dia bilang ke panitia, ‘kalau kamu periksa, lebih baik saya pulang ke Jakarta, saya tak mau ikut.’ Akhirnya, naskahnya tak diperiksa,” kenang Soesilo.
“Pram itu melawan arus, makanya banyak orang yang benci,” tambahnya.
Baca Juga: Juli, Jembatan Musi IV Palembang Mulai Terhubung Hilir ke Hulu
G30S dan Mula Bumi Manusia