Suara.com - Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan dalam dunia perbankan ada suatu penyebab sehingga piutangnya tak bisa ditagih oleh debitur. Menurutnya, bisnis bank merupakan bisnis pinjam kredit dan pinjam uang yang tentunya memiliki resiko akan tidak kembalinya uang tersebut.
Dia memberikan contoh, ketika ada debitur yang melakukan pinjaman uang dalam bentuk dollar sebesar 1000 Dollar AS, yang saat itu harga per dollar adalah Rp 2.500. Namun, lantaran terjadi krisis moneter yang tiba-tiba maka harga dollar naik menjadi Rp 10.000 per dollar. Jadi ada selisih angka Rp 7.500.
"Dari sini sudah dipastikan bahwa yang 7, 5 juta pasti tidak akan ditagih. Karena dia nggak ada salah apa-apa, karena rupiahnya melemah dari Rp 2.500 menjadi Rp 10.000. Tiba-tiba utangnya jadi Rp 10 juta. Ujungnya kan pasti dihapus utangnya. Jangan kan untuk bayar Rp 7,5 jutanya, untuk bayar Rp 2,5 juta saja orang belum tentu bisa membayar," katanya saat hadir sebagai ahli dalam kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).
Dia juga menjelaskan bahwa dalam perbankan juga terdapat istilah 'hapus buku'. Hapus buku ini berlaku ketika tagihan kepada debitur tak kunjung selesai.
"Hak tagih ini dikeluarkan dari buku bank supaya buku ini bersih, tetapi hak tagihnya itu belum dihapus. Jadi hapus buku (read off) dikeluarkan dari catatan tetapi tidak hilang," katanya.
"Ini bedanya hapus buku atau read off. Jadi Ada catatan di bank namanya extra countable. Ada catatan khusus tagihan-tagihan yang dihapus buku tetapi belum hapus tagih," jelasnya.
Menurut dia, jika setelahbertahun-tahun ditagih, namun tak kunjung menghasilkan apapun maka, biasanya nbank akan memutuskan hak tagih.
"Ketika setelah bertahun-tahun ditagih, tak menghasilkan apapun, ini barulah diputuskan hak tagih (Absollute write off) jadi hak tagihnya tidak ada lagi," kata Sigit.
Dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI ke Bank BDNI, kata dia, tentunya pihak yang berwenang menyehatkan Bank (dalam hal ini BPPN) tentu sudah memperhitungkan strategi penyelesaiannyanya.
Baca Juga: Kasus SKL BLBI, Pengamat: Pemerintah Salah Kenakan Pidana
Dia pun menjelaskan konsep awal pemberian dana Inti Plasma yang diberikan ke Petani Sawit dan berkembang ke Petani Tambak Udang serta lainnya.
Menurutnya, konsep tersebut awalnya adalah mencontoh konsep di Jepang tentang subsidi silang 'Bapak dan Anak Angkat' dengan pengucuran dana dan bantuan lainnya dari pengusaha besar ke pengusaha kecil. Sebab saat itu, pemerataan yang dilakukan pemerintah masih sangat kurang baik.
Pada awalnya kata Sigit, skema Bapak dan Anak Angkat ini tak menyentuh atau tak ada campur tangan pemerintah apalagi kredit perbankan. Sebab, pengusaha yang memberikan bantuan memiliki uang sendiri dan membangun dengan biaya sendiri.
Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah memberikan tugas ke berbagai pengusaha dengan menitipkan program pemerintah Pola Inti Rakyat (PIR) ke mereka dan akhirnya pengusaha itu pun melakukan pinjaman ke Bank.
Namun, untuk meringankan beban kredit petani sawit dan petambak, pemerintah pun memberikan keringanan kepada petani dan petambak, agar mereka tak terbebani bunga tinggi. Maka dikucurkan lah dana BLBI yang disalurkan melalui Bank BDNI ke PT Dipasena Citra Darmaja untuk para petani dan petambak yang sebagian bunganya ditanggung oleh pemerintah.
"Supaya beban bunga kreditnya kalau pinjam tidak terlalu tinggi maka diberilah BLBI. Jadi sebagian bunga itu ditanggung oleh pemerintah," katanya.