”Jadi ada intimidasi dalam penangkapannya. Dia dijemput dengan alasan untuk mediasi di polsek. Tapi yang terjadi justru penahanan. Bahkan Fitria berkali-kali dipindahkan tanpa mengerti mengapa hal itu terjadi,” jelasnya.
“Fitria mendapatkan surat penahanan pada tanggal 4 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya dia dibawa ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran," jelas dia.
Labih lanjut ia mengatakan, Fitria tidak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 6 Juni 2018, ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan Pondok Bambu.
Padahal, Fitria buta hukum, rentan dan tengah hamil sehingga membutuhkan bantuan untuk memastikan hak-haknya terpenuhi.
"Kami menilai, penyidik tidak cermat dalam menganalisis peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap sesorang haruslah diperhatikan cermat oleh penyidik, karena azas hukum pidana adalah ‘ultimum remedium’, bukan sebaliknya, menggunakan hukum pidana sebagai senjata untuk menekan seseorang atau memenuhi kepentingan seseorang," papar dia.
Menurutnya, penerapan hukum pidana terhadap kasus Fitria merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik, di mana seseorang tidak boleh dipenjara lantaran gagal memenuhi prestasi dalam perjanjian.
"Selanjutnya kami menilai bahwa masuknya hukum pidana dalam hubungan kontraktual antara individu ataupun antara entitas bisnis menunjukan kediktatoran dan kesewenangan negara dalam proses penegakan hukum," tegasnya.
Kontributor : Mochamad Yacub Ardiansyah
Baca Juga: Raih Dua Emas Asian Games, Paralayang Indonesia Lampaui Target