Suara.com - Menunaikan Rukun Islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji merupakan impian setiap umat muslim di seluruh dunia.
Namun, belum tentu semua orang bisa mendatangi rumah Allah tersebut lantaran terganjal berbagai masalah, salah satunya adalah biaya.
Hal itulah yang dirasakan oleh Mu'ammal Hamidy dan istri. Di tengah hidup serba kekurangan, Mu'ammal terpaksa memendam keinginannya untuk bisa menjadi tamu Allah.
Suara.com melansir dari Muhammadiyah.or.id, Jumat (17/5/2019), mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2000-2005 itu menceritakan pengalamannya bisa menunaikan haji.
Berkat kesabaran dan keikhlasannya, ia bisa memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan haji hanya bermodalkan empat set kursi.
Pada 1960 an, Mu'ammal dan istri hidup dengan sederhana menempati rumah sang istri di daerah Bangil, Jawa Timur.
Saat itu, Mu'ammal menjadi seorang guru di Pesantren Persis di Bangil dan Pengelola Majalan Al-Muslimun dengan gaji Rp 400.
Meski berada dalam kondisi serba kekurangan, hal itu tak mematahkan semangat Mu'ammal untuk menuntut ilmu.
Setelah lulus dari Universitas Pesantren Islam (UPI) di Bangil pada 1968, setahun kemudian pria kelahiran Lamongan, 1940 itu dikirim oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Jami'ah Islamiyah Madinah.
Baca Juga: Begini Cara Rasulullah dan Sahabat Peringati Malam Nuzulul Quran
Pada 1972, Mu'ammal lulus dan mendapatkan gelar Licence (Lc). Delapan tahun berselang, ia diangkat menjadi Dai Atase Agama Kedubes Saudi Arabia.
Setelah lebih dari 20 tahun memendam keinginan untuk menunaikan ibadah haji, Mu'ammal dan istri akhirnya bisa mengumpulkan uang.
Keduanya dijadwalkan berangkat pada 1983, namun keberangkatannya terpaksa dibatalkan lantaran terganjal masalah visa.
Harapan Mu'ammal dan istri selama ini pun sirna. Keduanya memutuskan untuk menginfakkan uang yang telah ditabung lebih dari 20 tahun untuk berhaji itu.
Keputusan Mu'ammal merelakan hasil tabungannya itu telah bulat. Uang tersebut dibelikan barang berupa empat set meja kursi guru sebagai infak untuk Perguruan Muhammadiyah di Bangil.
Hari demi hari dilalui Mu'ammal dengan berserah diri, ia pasrah lantaran tak bisa berkunjung ke Baitullah.