Wacana PDIP Kembali Hidupkan GBHN, Apa Pentingnya untuk Indonesia Kini?

Rabu, 14 Agustus 2019 | 07:00 WIB
Wacana PDIP Kembali Hidupkan GBHN, Apa Pentingnya untuk Indonesia Kini?
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (14/4).

Masih kata Jimmy, terdapat tujuh hal yang perlu diperhatikan terkait dengan wacana untuk mengembalikan kewenangan MPR dalam menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Pertama, mengembalikan kembali GBHN tidak boleh memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi, karena konstitusi telah menetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu supremasi konstitusi yang berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen," ujar Jimmy.

Menurut Jimmy, bila GBHN akan kembali dihidupkan melalui MPR, maka lembaga tersebut harus dimaknai sebagai “rumah kebangsaan” untuk memusyawarahkan perencanaan negara ini ke depan. Selain itu GBHN, dikatakan Jimmy, bukan sebagai haluan pemerintahan, melainkan sebagai haluan negara yang mengatur perencanan pembangunan nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan, baik di level pusat maupun daerah.

"Ketiga, adanya GBHN tidak mengubah beberapa karakter sistem presidensial seperti presiden tetap dipilih rakyat, Presiden tidak sebagai mandataris MPR, dan presiden tidak dapat diberhentikan (impeachment) akibat tidak dijalankannya GBHN secara baik," kata Jimmy.

Selanjutnya, Jimmy menyebutkan bahwa GBHN harus berisikan perencanaan pembangunan nasional secara garis besar, tidak secara teknis. Hal kelima yang harus diperhatikan adalah penyusunan perencanaan pembangunan nasional harus didasarkan pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta tidak boleh ada sanksi hukum dalam pelaksanaan haluan pembangunan nasional.

Terakhir, Jimmy menyebutkan perlu adanya mekanisme laporan kinerja, bukan laporan pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, termasuk kinerja MPR sendiri.

"Ketujuh catatan ini dimaksudkan agar jangan sampai munculnya GBHN bertentangan sistem presidensial, sebagai amanat reformasi," jelas Jimmy.

Namun Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti tidak setuju GBHN dihidupkan kembali. Pemberlakuan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah tidak direlevan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini Indonesia.

Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, GBHN dulu karena merupakan mandat yang diberikan kepada presiden, ketika pimpinan eksekutif negara gagal menjalankannya terdapat konsekuensi bisa dimakzulkan oleh MPR. Dia mengambil contoh yang terjadi dengan Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh MPRS pada 1967 dan Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR pada 23 Juli 2001.

Baca Juga: GBHN Bakal Dihidupkan Lagi, JK: Asal Jangan Ubah Seluruh Sistem

Namun, hal itu berubah setelah dilakukan amandemen undang-undang pascareformasi bahwa presiden tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kecuali melakukan tindakan pidana tertentu.

Menurut Bivitri, amandemen konstitusi bukanlah hal tabu yang tidak boleh dilakukan, tapi harus dibuat dengan dasar apakah perubahan itu bermanfaat untuk rakyat atau tidak. (Antara)

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI