Untuk kasus ketiga adalah Lahan Cengkareng Barat yang ia klaim berpotensi merugikan negara sebesar Rp 668 miliar. Ia menyebut Ahok membeli lahan milik Pemda sendiri dari Toeto Noezlar Soekarno. Buktinya sebagai berikut:
Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU No.20/2001, tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor;
- Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp10 miliar, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001;
- Sebagai kepala daerah, Ahok bertanggung jawab atas kerugian negara dan pelanggaran hukum karena berperan mengeluarkan disposisi untuk mengeksekusi pembelian lahan;
- KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memeroses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp 668 miliar.
Kasus Dana CSR
Marwan menyebut Ahok diduga terlibat pada pemberian dana CSR melalui Ahok Centre. Ia menyebut Ahok Center dipimpin dan dikelola oleh Ahok bersama tim sukses. Beberapa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan kasus ini adalah:
- Dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar Rp, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan kedalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre;
- Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center diluar APBD antara lain melanggar 1) UU No.40/2007 tentang PT; 2) PP No.47/2012 tentang TJSL; 3) Pemern BUMN N0.5/2007 tentang Kemitraan BUMN; 4) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.
- DPRD DKI Jakarta telah mendesak audit dana CSR yang dikelola Ahok Centre, namun tidak jelas kelanjutannya. Pada Februari 2016 diberitakan KPK telah mengusut kasus ini. Tapi, hingga Juni 2017 KPK tak mengungkapnya kepada publik.
Kasus di Belitung Timur
Kasus kelima adalah korupsi Ahok saat sebelum dan sesudah menjadi Bupati Belitung Timur. Menurut Marwan, Ahok terlibat dalam beberapa kasus korupsi, di antaranya adalah:
- Kasus pengadaan/anggaran ganda pada revitalisasi muara di Beltim. Proyek Pemda ini fiktif karena proyek revitalisasi dilakukan oleh PT Timah;
- Kasus penambangan Kaolin dan Pasir Kuarsa secara ilegal di Hutan Lindung Gunung Noya melalui 4 perusahan Ahok. Kasus ini telah diusut oleh Mabes Polri pada 2010;
- Berkat pendekatan oleh Ahok sebagai Anggota DPR saat itu, pada awal 2011 Mabes Polri melimpahkan pengusutan kasusnya Polda Bangka Belitung.Polda Babel sudah menyatakan kasus penambangan ilegal berstatus “P-21”, untuk diteruskan ke Kejati Babel.
Kasus Reklamasi
Keenam adalah kasus Reklamasi. Ia mengumpulkan informasi dari persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar. KKN Ahok dalam kasus reklamasi menurut Marwan adalah sebagai berikut:
- Menyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor;
- Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar Pasal 22 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
- Menerbitan izin reklamasi diluar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
- Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008;
- Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pernah Dibantah
Baca Juga: Diperiksa KPK, Eks Menag Lukman Hakim Dicurigai Terima Gratifikasi
Sebagian tudingan yang disampaikan Marwan pernah dibantah Ahok hingga Pemprov DKI. Pada kasus Sumber Waras berawal dari temuan BPK DKI yang menyebutkan pembelian lahan Sumber Waras merugikan negara hingga Rp 191 miliar. Namun dalam perkembangannya, ada perubahan nilai kerugian setelah diaudit BPK, yakni Rp 173 miliar.
Kerugian terjadi karena ada perbedaan nilai jual objek pajak tanah. BPK menilai NJOP yang ada di Jalan Tomang Utara, sedangkan Pemprov DKI Jakarta menilainya di Jalan Kyai Tapa. Dalam perkara itu, KPK menyebut hasil penyelidikan dalam pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras tidak menemukan perbuatan melawan hukum.
Sementara di kasus sengketa Taman BMW, Pemprov DKI saat itu sudah memenangkan gugagatan di tingkat banding dalam sengketa stadion BMW. Pemprov bersengketa melawan PT Buana Permata Hijau atas klaim lahan tersebut.
Kemenangan Pemprov DKI Jakarta itu tertuang dalam salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN) No. 231/B/2019/PT.TUN.JKT atas perkara banding terhadap putusan No. 282/G/2018/PTUN.JKT mengenai sengketa Stadion BMW. Salinan putusan itu telah diterima kantor hukum Denny Indrayana, Integrity Law Firm.
Kasus lainnya, Kasus Lahan Cengkareng Barat, Ahok pernah memaparkan alasan tak pakai NJOP untuk membeli lahan Cengkareng, pada 28 Juni 2016.
Seperti dilansir Tempo.co, Ahok mengatakan sengaja meminta Dinas Perumahan dan Gedung mengecek harga tanah di tim appraisal resmi sebelum memutuskan menerima tawaran Rudi Iskandar. Rudi adalah kuasa Toeti Noezlar Soekarno, warga Bandung yang mengaku punya lahan 4,6 hektare di Jalan Lingkar Luar Barat Cengkareng.