Suara.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menginstruksikan agar salat Jumat ditiadakan selama dua pekan dikarenakan penyebaran virus Corona (Covid-19). L
Lembaga Bahtsul Matsail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memiliki pandangan keagamaan terkait penundaan salat Jumat di tengah adanya wabah.
Lembaga Bahtsul Matsail PBNU memandang kalau wabah Covid-19 belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Di samping pasien yang yang terjangkit kian meninggi per harinya, belum ada obat ataupun vaksin yang ditemukan agar wabah tersebut bisa mereda dan pasien dapat sembuh.
Salah satu cara yang diupayakan pemerintah ialah dengan mengurangi aktivitas masyarakat di luar rumah yang melibatkan kerumunan orang banyak, termasuk salat Jumat.
Pro dan kontra dari opini masyarakat pun tidak dapat terhindari akibat adanya pelarangan salat Jumat seperti yang disampaikan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga Bahtsul Matsail PBNU pun berusaha untuk menjelaskan peniadaan salat Jumat di tengah mewabahnya Covid-19.
Ketua Lembaga Bahtsul Matsail PBNU, M Nadjib Hassan mengatakan umat Islam terutama pria wajib melaksanakan salat Jumat (hifzh al-din), namun di sisi lain umat Islam pun harus menjaga diri (hifzh al-nafs) dari potensi tertular Covid-19.
"Misalnya dengan menghindar dari kegiatan yang melibatkan orang banyak seperti salat Jumat dan salat berjemaah," kata Nadjib dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/3/2020).
Lembaga Bahtsul Matsail PBNU memandang bagi orang yang sudah dinyatakan positif terjangkit Covid-19, maka ia boleh meninggalkan salat Jumat. Kemudian ia juga dilarang untuk menghadiri salat Jumat. Terdapat hadis yang berlaku terkait dengan konteks tersebut yakni la dlarara wa la dhirar (tidak boleh melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain).
Untuk situasi tersebut, orang yang positif Covid-19 bisa dianalogikan dengan penyandangan judzan dan barash yang dilarang mengikuti salat Jumat. Sehingga mereka harus menjalani isolasi.
Baca Juga: Hukum Salat Jumat saat Wabah Virus Corona Menurut PBNU
“Al-Qadli ‘Iyadl telah menukil pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa orang yang terkena penyakit lepra dan kusta dilarang ke masjid, shalat jumat, dan berbaur dengan orang lain”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, h. 215).
“Sesungguhnya sebab larangan (seperti larangan mendatangi masjid, shalat jumat dan berbaur dengan orang lain, pent) yang diberlakukan seperti kepada orang yang terkena penyakit lepra karena dikhawatirkan membawa madlarat kepada orang lain. Oleh karena itu melarangnya adalah wajib” (Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, Bairut-Dar al Fikr, juz, I, h. 212).
Kemudian apabila umat Islam yang tinggal di daerah zona merah Covid-19 maka umat Islam dianjurkan melaksanakan salat zuhur di rumah masing-masing dan tak memaksakan menyelenggarakan salat Jumat di Masjid. Hal itu dianggapnya lantaran penularan zona merah penularan Covid-19 belum sampai pada tingkat yakin akan tetapi sekurang-kurangnya sampai pada dugaan kuat atau potensial yang mendekati aktual.
"Artinya, masyarakat muslim yang ada di zona merah bukan hanya tidak diwajibkan salat Jumat atau tidak, dianjurkan salat jemaah dalam jumlah besar, melainkan justru mereka tak boleh melakukan dua aktivitas tersebut," ujarnya.
Kalau tidak diperbolehkan untuk melaksanakan salat Jumat maka bisa diganti dengan salat Zuhur di rumah masing-masing. Bukan salat Jumatnya yang dipersoal, melainkan perkumpulan orangnya yang dikhawatirkan menjadi tempat penularan Covid-19.
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesunguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. AnNisa: 29).