Menurut pengamatan studi oleh organisasi peduli lingkungan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), tingkat gas Nitrogen Dioksida (NO2) di Jakarta turun sekitar 40% dari level gas tersebut pada tahun lalu.
Hal itu tercatat selama masa bekerja dari rumah yang mulai diberlakukan sejak pertengan Maret yang kemudian disusul PSBB di bulan April dalam upaya menekan penyebaran Covid-19.
Namun demikian, studi itu juga mencatat sebaran PM 2.5, atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron, pada periode itu masih konsisten.
Menurut CREA, kondisi ini mengonfirmasi lebih jauh penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kualitas udara ambien Jakarta sangat dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari wilayah tetangga, terutama dari pembangkit listrik dengan batu bara.
Organisasi itu memberi contoh bahwa di provinsi Banten, di mana terdapat pembangkit listrik Suralaya, sebaran NO2 tetap tinggi.
CREA mengungkap bahwa pada 12 April, arah massa udara dengan PM 2.5 yang tinggi mengarah ke Jakarta terdeteksi melalui stasiun pemantau kualitas udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa polusi udara perkotaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Mulai dari kendaraan dan lalu lintas, kegiatan industri, hingga pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat berpolusi," kata Analis CREA Isabella Suarez dalam sebuah pernyataan yang diterima BBC News Indonesia.
"Sederhananya, mengendalikan tingkat polusi dari semua sumber ini sama dengan lebih sedikit polusi yang dihirup. Pada akhirnya, lebih sedikit polusi berarti paru-paru lebih sehat dan lebih sedikit tekanan pada layanan kesehatan di masa kritis ini," tambahnya.
Menurut CREA, rata-rata setiap tahun sebanyak 38.000 orang Indonesia diperkirakan meninggal karena infeksi pernafasan bagian bawah. Sekitar 3.000 hingga 6.000 dari angka kematian tersebut dapat dihindari dengan udara yang lebih bersih.
Baca Juga: Cerita Foto Senyuman dan Kegetiran Tim Medis Virus Corona
Sementara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan tingkat polusi udara yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor risiko dalam kasus fatal Covid-19.
Standar tingkat PM 2.5 yang berbeda
Greenpeace mengungkap bahwa standar baku mutu udara nasional dan milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berbeda, sehingga hal ini berimplikasi pada perbandingan penafsiran data.
Juru Bicara Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan pihaknya juga mengkompilasi data dari alat deteksi PM 2.5 milik Kedutaan Besar Amerika Serikat dari tahun 2016.
Melalui alat itu, Bondan menjelaskan bahwa dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya dalam periode Januari hingga Mei, jumlah hari sehat justru semakin sedikit.
"Ternyata sejak Januari, memang kalau kita compare (bandingkan) dengan standar nasional, untuk PM 2.5 itu dimana baku mutu udara ambien nya standarnya adalah 65 mikrogram per meter cubic untuk rata-rata hariannya. Bandingkan dengan WHO, WHO rata-rata standar hariannya adalah 25 mikrogram per meter kubik.